Apa gunanya sekolah
tinggi-tinggi kalau hanya menambah-nambah angka statistik pengangguran di
Indonesia? Aku bertanya tidak kepadamu, melainkan aku bertanya pada diriku
sendiri. Apa yang telah kulakukan pada bangsaku sehingga semakin tahun semakin
bertambah saja jumlah pengangguran di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini. Aku bertanya tidak kepadamu, melainkan
aku bertanya kepada diriku sendiri. Apa yang telah kulakukan pada bangsaku
sehingga semakin banyak saja orang malas dan bodoh, yang hanya mengandalkan
kekuatan baik fisik maupun mental orang lain, dan bukannya memanfaatkan
kekuatan diri sendiri…
Lihatlah betapa pelajar
sekarang ini begitu mudahnya berbuat curang. Seperti tiada percaya pada
kekuatan sendiri. Kekuatan yang sesungguhnya sangat besar namun tiada pernah
mendapat kepercayaan sehingga tiada pula kesempatan untuk tampil menjadi
penyelamat masa depan. Pusingkah kepala kalian membaca kalimat-kalimat ini? Ya,
pusing kepala kalian karena kepala kalian selama ini tiada sedikit pun mendapat
kepercayaan dari si empunya kepala.
Mengapa semua ini
terjadi? Mengapa begitu mudahnya pelajar Indonesia mencontek? Aku tidak sedang
bertanya kepadamu, melainkan kepada mereka yang berpikir bagi masa depan
bangsa. Tidaklah kiamat akan datang pada mereka yang tidak berpikir akibat
pertanyaanku ini, hanya saja bolehlah aku berdoa yang bagus bagi mereka yang
berpikir. Mengapa pula harus ada kata mencontek dan praktek mencontek? Aku
tidak sedang bertanya kepadamu, melainkan kepada mereka yang masih punya hati
nurani. Hati nurani yang sama sekali tiada berkaitan dengan Deret Aritmatika
atau Aljabar, melainkan hati nurani yang akan berkembang bila mendapat reaksi
kimia.
Saat petani sedang
bergembira menyongsong masa panen tiba, mereka disodok dengan berita
menyakitkan nan menyayat hati, bahwa tahun ini pun senyum mereka terpaksa
ditunda untuk tahun depan atau kapan-kapan, sebab kebijakan impor beras telah
disetujui ‘yang di atas’, setelah sekian lama mereka menahan perih akibat
kebijakan impor kedelai, jagung, daging sapi, dan daging ayam.
Kapankah kami punya
kesempatan mereguk kebahagiaan? Aku tidak sedang bertanya kepadamu, melainkan
kepada mereka yang peduli saja. Harga-harga pupuk dan obat-obatan melambung
tinggi, kalaupun bersubsidi, menghilanglah mereka bersama angin. Kapankah kami
punya kesempatan untuk sedikit saja tersenyum menyaksikan sarjana-sarjana kita
tertarik terjun ke sawah-sawah karena hasilnya yang menggoda? Tidak. Aku tidak
sedang bertanya kepadamu, melainkan kepada mereka yang mondar-mandir membawa
ijasah, keluar masuk gedung-gedung yang belumlah menjadi ruang kerja mereka.
Aku ingin mereka menjawab pertanyaanku dengan kata-kata mereka sendiri, bukan
kata-kata hasil copy paste dari orang
lain, sebab aku percaya bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, mereka
sebenarnya memiliki jawaban. (Pandaan, 10 November 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar