Akhirnya
aku sekolah! Betapa senang hatiku setelah hampir setahun merengek minta sekolah
pada orang tuaku. “Lulus TK aja belum, kok minta SD...” ujar ibuku suatu
ketika.
Tapi aku tidak mau
tahu. Aku harus sekolah SD seperti kakak-kakakku. Aku ingin segera memakai
seragam merah hati dan putih seperti mereka. Aku ingin berangkat dan pulang
bersepeda. Aku ingin pergi ke sekolah dengan tas di pinggang, dan bukan
melenggang dengan botol minuman dikalungkan di leher macam anak TK. Aku ingin
segera lulus.
“Mana bisa kamu
lulus... Lha wong kamu bolos berhari-hari...” goda mbak Aci, kakak perempuanku.
Aku
ada alasan mengapa bolos hingga hari itu dan mungkin selamanya. Dua minggu yang
lalu aku mendapat nilai nol di pelajaran Berhitung. Kertas ulangan dengan angka
nol sebesar telur mata sapi telah aku remas dengan geram dan aku buang ke
halaman.
“Lagian, kenapa juga kamu
dapat nol?” tanya mbak Aci dengan nada menyalahkan.
“Memangnya tidak boleh
dapat nol?” bapakku membela. Lega rasanya ada yang membelaku, “Bapak juga pernah
dapat nol, kok. Kalau nol lebih baik? Daripada menyontek juga... Lagipula,
adikmu ini ‘kan pasti ada alasan tepat.”
“Iya, Dek. Kenapa kamu
keluar dari TK?” tanya mbak Aci kemudian.
Aku ragu untuk
menjawab. Ibu berlalu di hadapanku. Kalau aku salah menjawab, bisa-bisa
dipukulnya aku ini. Ibu sering main tangan, sih.
“Bapak jangan membela
dia terus, nanti jadi manja,” ibu mengingatkan sambil membuai adik bungsuku
dalam gendongannya.
Bapak hanya mengangkat
alis kanannya. Ia lalu memperbesar volume televisi hitam-putih yang sedang
menyiarkan berita nasional.
Aku
tidak mungkin berterus terang kepada orang-orang dewasa ini. Mereka terlalu
jahat bagi anak-anak polos macam aku. Mereka selalu punya siasat untuk menindas
yang lebih muda.
Hanya pada embah aku bisa berterus terang. Embah adalah
ibu kandung ibuku yang seringkali tinggal bersama kami. Sejak kakek menikah
lagi, beliau sering tinggal berpindah-pindah ke rumah anak-anaknya yang tiga
orang itu.
“Masa’, Mbah, semua
jawabanku disalahkan. Padahal menurutku benar semua itu. Himpunan lima ayam
ditambah himpunan lima cacing sama dengan lima ayam.”
“Kok begitu?” embah
seperti protes.
“Lha, ‘kan satu ayam
makan satu cacing? Pas, deh. Lima ayam, lima cacing. Ayam di belakang rumah
‘kan makan cacing?” Aku langsung teringat si Blorok yang pernah memakan cacing
umpan pancing kami waktu musim memancing.
Embah tertawa terkekeh-kekeh. Gigi-gigi gerahamnya yang
sebagian besar telah tanggal sampai terlihat. Aku bingung melihat nenekku yang
sangat baik ini. Ketika beliau telah menguasai diri, beliau mengatakan bahwa
aku boleh saja tidak sekolah. Beliau lalu bercerita pada bapakku.
Alangkah malunya aku sejak hari itu. Seluruh anggota
keluarga seakan-akan mencemoohku tiap detik hanya karena himpunan ayam dan
himpunan cacing. Meskipun bapak ikut menertawakanku, namun beliau akhirnya
membelaku. “Lha ayam dikumpulin sama
cacing...habislah.”
Sejak saat itu keluarga mendukungku untuk tidak
bersekolah di TK Dharma Wanita. Mereka memberiku keleluasaan untuk bertualang
sepanjang pagi dengan syarat: aku pulang saat makan siang dan mengaji di sore
hari.
Toh aku tiada
sendiri. Ada Mirsoda yang juga tidak sekolah lagi karena sakit telinga.
Kemasukan padi, kata orang-orang. Telinganya seringkali mengeluarkan cairan
putih susu. Untuk berobat belum ada uang.
Maka aku pun bermain setiap hari bertemankan Mirsoda.
Tentu mainnya tidak bisa jauh-jauh karena ia sakit. Kalau tidak di rumahnya, ya
di rumahku. Karena hanya berdua, permainan kami tidak seru. Paling hanya
bermain mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali atau berkemah di dalam rumah.
Anehnya, meski membosankan, aku tiada pernah ada keinginan untuk kembali
mengenyam bangku TK. Aku masih sakit hati dengan guru-guru TK yang ada. Yang
membuatku sakit hati bukan hanya masalah himpunan ayam dan cacing saja,
melainkan masih banyak lagi.
Pernah suatu ketika aku berteriak di kelas, “Bu... Darius
mencret...” Eh, pahaku langsung dicubit bu Rodiyah. Padahal aku hanya ingin
menunjukkan ke semua anak agar waspada dengan bau yang akan timbul dan agar
guru-guru segera menangani Darius di kamar mandi. Ternyata niat baikku disalah
artikan. Bahkan sampai sekarang si Darius membuang muka tiap bertemu denganku.
Pasti gara-gara cubitan itu ia jadi ikut menyalahkanku. Coba kalau waktu itu
aku tidak dicubit, semisal guru-guru segera bertindak mengamankan Darius, pasti
Darius berterima kasih padaku.
Lain halnya dengan peristiwa Sabtu Kelabu. Tiap Sabtu
adalah siksaan, sebab hari Sabtu ada kegiatan makan bersama. Betapa aku benci
makan bersama. Semua anak harus berbaris mengantre makanan dan minuman terus berlomba-lomba
makan. Yang selesai duluan disebut juara. Yang paling akhir makannya membawa
label pecundang kemana-mana. Yang paling akhir itu selalu aku.
Suatu kali ketika aku bermain di halaman rumah Mirsoda,
aku dibuat terpana oleh seorang guru baru yang cantik dan baik. Guru baru itu
berlalu di hadapanku berdampingan dengan guru-guru yang lain. Dari jauh aku
menyaksikan mereka sedang mebicarakan aku. Sesekali guru baru itu berpaling ke
arahku. Aku pura-pura sibuk.
Guru baru itu mendekatiku sepulang sekolah. “Kenapa tidak
sekolah?” tanya beliau sambil tersenyum.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar