Jumat, 13 Februari 2015

Jangan Sekolah

Akhirnya aku sekolah! Betapa senang hatiku setelah hampir setahun merengek minta sekolah pada orang tuaku. “Lulus TK aja belum, kok minta SD...” ujar ibuku suatu ketika.
Tapi aku tidak mau tahu. Aku harus sekolah SD seperti kakak-kakakku. Aku ingin segera memakai seragam merah hati dan putih seperti mereka. Aku ingin berangkat dan pulang bersepeda. Aku ingin pergi ke sekolah dengan tas di pinggang, dan bukan melenggang dengan botol minuman dikalungkan di leher macam anak TK. Aku ingin segera lulus.
“Mana bisa kamu lulus... Lha wong kamu bolos berhari-hari...” goda mbak Aci, kakak perempuanku.
Aku ada alasan mengapa bolos hingga hari itu dan mungkin selamanya. Dua minggu yang lalu aku mendapat nilai nol di pelajaran Berhitung. Kertas ulangan dengan angka nol sebesar telur mata sapi telah aku remas dengan geram dan aku buang ke halaman.
“Lagian, kenapa juga kamu dapat nol?” tanya mbak Aci dengan nada menyalahkan.
“Memangnya tidak boleh dapat nol?” bapakku membela. Lega rasanya ada yang membelaku, “Bapak juga pernah dapat nol, kok. Kalau nol lebih baik? Daripada menyontek juga... Lagipula, adikmu ini ‘kan pasti ada alasan tepat.”
“Iya, Dek. Kenapa kamu keluar dari TK?” tanya mbak Aci kemudian.
Aku ragu untuk menjawab. Ibu berlalu di hadapanku. Kalau aku salah menjawab, bisa-bisa dipukulnya aku ini. Ibu sering main tangan, sih.
“Bapak jangan membela dia terus, nanti jadi manja,” ibu mengingatkan sambil membuai adik bungsuku dalam gendongannya.
Bapak hanya mengangkat alis kanannya. Ia lalu memperbesar volume televisi hitam-putih yang sedang menyiarkan berita nasional.
Aku tidak mungkin berterus terang kepada orang-orang dewasa ini. Mereka terlalu jahat bagi anak-anak polos macam aku. Mereka selalu punya siasat untuk menindas yang lebih muda.
            Hanya pada embah aku bisa berterus terang. Embah adalah ibu kandung ibuku yang seringkali tinggal bersama kami. Sejak kakek menikah lagi, beliau sering tinggal berpindah-pindah ke rumah anak-anaknya yang tiga orang itu.
“Masa’, Mbah, semua jawabanku disalahkan. Padahal menurutku benar semua itu. Himpunan lima ayam ditambah himpunan lima cacing sama dengan lima ayam.”
“Kok begitu?” embah seperti protes.
“Lha, ‘kan satu ayam makan satu cacing? Pas, deh. Lima ayam, lima cacing. Ayam di belakang rumah ‘kan makan cacing?” Aku langsung teringat si Blorok yang pernah memakan cacing umpan pancing kami waktu musim memancing.
            Embah tertawa terkekeh-kekeh. Gigi-gigi gerahamnya yang sebagian besar telah tanggal sampai terlihat. Aku bingung melihat nenekku yang sangat baik ini. Ketika beliau telah menguasai diri, beliau mengatakan bahwa aku boleh saja tidak sekolah. Beliau lalu bercerita pada bapakku.
            Alangkah malunya aku sejak hari itu. Seluruh anggota keluarga seakan-akan mencemoohku tiap detik hanya karena himpunan ayam dan himpunan cacing. Meskipun bapak ikut menertawakanku, namun beliau akhirnya membelaku. “Lha ayam dikumpulin sama cacing...habislah.”
            Sejak saat itu keluarga mendukungku untuk tidak bersekolah di TK Dharma Wanita. Mereka memberiku keleluasaan untuk bertualang sepanjang pagi dengan syarat: aku pulang saat makan siang dan mengaji di sore hari.
            Toh aku tiada sendiri. Ada Mirsoda yang juga tidak sekolah lagi karena sakit telinga. Kemasukan padi, kata orang-orang. Telinganya seringkali mengeluarkan cairan putih susu. Untuk berobat belum ada uang.
            Maka aku pun bermain setiap hari bertemankan Mirsoda. Tentu mainnya tidak bisa jauh-jauh karena ia sakit. Kalau tidak di rumahnya, ya di rumahku. Karena hanya berdua, permainan kami tidak seru. Paling hanya bermain mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali atau berkemah di dalam rumah. Anehnya, meski membosankan, aku tiada pernah ada keinginan untuk kembali mengenyam bangku TK. Aku masih sakit hati dengan guru-guru TK yang ada. Yang membuatku sakit hati bukan hanya masalah himpunan ayam dan cacing saja, melainkan masih banyak lagi.
            Pernah suatu ketika aku berteriak di kelas, “Bu... Darius mencret...” Eh, pahaku langsung dicubit bu Rodiyah. Padahal aku hanya ingin menunjukkan ke semua anak agar waspada dengan bau yang akan timbul dan agar guru-guru segera menangani Darius di kamar mandi. Ternyata niat baikku disalah artikan. Bahkan sampai sekarang si Darius membuang muka tiap bertemu denganku. Pasti gara-gara cubitan itu ia jadi ikut menyalahkanku. Coba kalau waktu itu aku tidak dicubit, semisal guru-guru segera bertindak mengamankan Darius, pasti Darius berterima kasih padaku.
            Lain halnya dengan peristiwa Sabtu Kelabu. Tiap Sabtu adalah siksaan, sebab hari Sabtu ada kegiatan makan bersama. Betapa aku benci makan bersama. Semua anak harus berbaris mengantre makanan dan minuman terus berlomba-lomba makan. Yang selesai duluan disebut juara. Yang paling akhir makannya membawa label pecundang kemana-mana. Yang paling akhir itu selalu aku.
            Suatu kali ketika aku bermain di halaman rumah Mirsoda, aku dibuat terpana oleh seorang guru baru yang cantik dan baik. Guru baru itu berlalu di hadapanku berdampingan dengan guru-guru yang lain. Dari jauh aku menyaksikan mereka sedang mebicarakan aku. Sesekali guru baru itu berpaling ke arahku. Aku pura-pura sibuk.
            Guru baru itu mendekatiku sepulang sekolah. “Kenapa tidak sekolah?” tanya beliau sambil tersenyum.

            Aku langsung kabur saat itu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar