Rabu, 18 Februari 2015

Monyet Saja Sekolah...

Sekolah itu benar-benar hijau. Halamannya penuh pepohonan dan dinding serta kusen pintu dan jendela bernuansa hijau. Lukisan di dinding juga dominan hijau. Lubang angin di atas pintu dan jendela dicat hijau tua. Satu-satunya yang tidak berwarna hijau barangkali kaca jendela dan pintu.
Sebelum menjadi TK, gedung ini digunakan sebagai markas Koramil, markas tentara tingkat kecamatan. Setelah Koramil memiliki gedung sendiri, kakek menggunakan gedung ini untuk TK. Berada satu halaman dengan rumahku, bisa dibayangkan betapa aku sulit untuk membolos. Semua guru pasti melewati halaman depan rumahku menuju TK itu. Jika aku sampai bertemu teman-teman dan guru-guru sebelum mandi, malulah aku. Hasilnya, aku selalu siap sebelum yang lain datang.
Aku tidak pernah kesulitan menemukan baju seragam. Seluruh pakaian telah dinamai dengan sulaman oleh ibuku, perempuan luar biasa dengan enam anak. Baju-baju itu disimpan di kamar khusus baju. Satu keranjang besar untuk masing-masing anak. Keranjangku berwarna oranye, warna kesukaan. Jika celana atau baju tidak aku temukan, aku langsung beralih ke keranjang biru milik abangku. Ia masih menyimpan baju seragam TK-nya meski ia telah bersekolah di SD. Oleh karenanya aku tak pernah merepotkan siapapun untuk urusan seragam ini.
Aku murid istimewa. Ketika murid perempuan lainnya wajib memakai rok, aku beda. Seragamku semua adalah celana. Saat itu aku enggan memakai rok. Kalau ada yang memaksaku memakai rok, aku menurut, tapi rok itu pun sebentar saja menempel di tubuhku. Sebentar kemudian telah tergantung pula di tali jemuran atau di atas genting jika aku benar-benar marah.
Setelah siap, aku biasanya langsung berangkat. Aku tidak pernah membawa bekal makan atau minum karena jika haus, cukup berlari ke dapur atau ruang makan. Sering juga aku meminta makanan yang dibawa teman-teman. Asal tidak ketahuan bapak, meminta makanan dari orang lain tidak mengapa.
Temanku yang datang paling awal namanya Sami’un. Konon ia dinamai persis dengan nama kakekku karena ayahnya ingin ia jadi orang hebat seperti kakek. Ayahnya dulu bekerja pada kakek sebagai pengurus sapi dan kuda bersama beberapa orang yang lain.
Sami’un ini kasihan sekali. Meski berasal dari keluarga miskin, ia sangat bersemangat sekolah. Seragamnya bekas orang lain. Sepatu ia tak punya, tapi kedua kakinya terlindungi tas kresek hitam. Di kedua lututnya terdapat borok yang tak kunjung sembuh. Hidungnya selalu mengeluarkan ingus. Kadang-kadang ingusnya menggelembung jika ia bernapas. Rambutnya berminyak tanda tak pernah keramas. Telinganya sesekali juga mengeluarkan cairan putih susu seperti temanku Mirsoda. Entah mengapa beberapa temanku menderita penyakit yang sama.
Sahabatku TK bernama Yulyaningsih dan Nur Chamala Annisa. Sebut saja Yuli dan Anis. Mereka juga datang pagi-pagi sekali. Aku suka berteman dengan mereka berdua. Mereka tidak pernah membentakku. Memukulku juga tidak. Mencubit juga tak pernah. Anis selalu membawa jajanan yang dia ambil dari toko ibunya. Yuli selalu membawa susu hangat. Perpaduan yang pas.
Yuli dan Anis tidak banyak bicara. Mereka juga tidak pernah sampai menjerit hanya karena jajannya diminta.
Biasanya ketika kami sudah datang, kami duduk-duduk di teras rumah kakek. Kadangkala kami menceritakan mimpi masing-masing, acara TVRI semalam, hantu di pohon Gayam wak Tun, atau tontonan Warkop DKI dari layar misbar di lapangan kampung.
Sekolah kami tidak memiliki lonceng. Memang ada sebuah kentongan. Kentongan yang ada di samping gedung tidak untuk dipukul sembarangan. Kentongan itu hanya untuk memanggil warga jika ada kebakaran, pencurian, atau rapat besar. Itu pun harus atas perintah kakekku. Satu-satunya penanda masuk adalah kedatangan guru-guru yang berjumlah tiga orang itu.
Guru-guru TK berangkat dari rumah mereka berjalan kaki. Di belakang mereka bergerombol beberapa anak yang rumahnya mereka lalui. Aku tahu benar mengapa mereka ikut dalam rombongan guru-guru: karena ada tiga bahaya yang harus dilalui. Bahaya pertama, anjing Herder pak Tommy. Anjing ini dilepas bebas di halaman rumah dan jika diganggu-dan tak mungkin anak-anak seperti kami tidak mengganggunya, maka ia tidak segan mengejar kami. Bahaya kedua, si nenek gila yang suka mengamuk dengan melempar segala peralatan dapur dan kadang batu sebesar kepalan tangan. Bu Rodiyah pernah mengajari kami cara agar terhindar dari amukan orang gila, yakni dengan tidak menggodanya dan tidak menatap matanya. Keduanya mustahil dilakukan. Bagaimanapun juga, orang gila adalah tontonan yang lebih menarik ketimbang acara Kelompencapir. Bahaya ketiga ialah monyet guk Khoiri. Monyet ini sangat ganas. Segala benda yang dilemparkan pasti digigitnya, macam adik bungsuku saja. Meski monyet ini dirantai, tetap saja ia cukup menakutkan. Rantainya itu sangat panjang sampai menjangkau separuh jalan desa.
Kebiasaan kami, jika guru-guru datang, kami langsung mencium tangan mereka satu per satu. Setelah itu semua murid memasuki ruang kelas dan memberi salam dengan aba-aba.
“Berdiri! Bersiap! Beri hormat! Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!”
Berikutnya baca Pancasila keras-keras dan berdoa. Barulah selepas itu semua boleh duduk. Kami punya tempat duduk masing-masing. Tempat duduk ini telah kami tandai. Tempat duduk dari bangku panjang itu digunakan untuk enam anak. Tepat di bagianku, aku tempeli tato gosok Superman dan Fantastic Four. Kalau ada yang berani menduduki tempatku ini, pasti aku laporkan bu guru.
Tempat dudukku ini sangat strategis, yakni paling belakang dan dekat pintu. Begitu guru membubarkan kami, aku bisa langsung berlari keluar sambil berteriak-teriak “Hore!”
Pelajaran hari ini ialah mencoblos. Guru kami membagikan jarum agak tumpul kepada kami. Kami diminta mencoblos gambar buah sesuai dengan garis tepinya. Rupanya jarum yang tumpul tidak cukup sehingga bu guru membagikan jarum runcing pada beberapa teman. Tentu saja mereka yang memperoleh jarum runcing bisa mencoblos dengan rapi. Hasilnya, bentuk buah mereka lebih bagus.
Teman di sebelahku, Takmirul, mendapat jarum runcing. Ia seperti kesulitan menggunakan jarumnya. Ini dikarenakan usianya dua tahun lebih muda dari kami semua. “Tukar, yuk?”tawarku padanya. Ia menggeleng.
Ia menusukkan jarumnya tepat di garis tepi gambar buah sirsaknya, lalu menggesernya ke samping menurut garis dan tentu ini membuat gambarnya robek. Ia lalu menghambur ke bu Rodiyah dan meminta lembaran gambar buah lagi. Saat itulah aku dengan cepat mengambil jarumnya dan menusuki garis tepi gambar buah anggurku. Sebelum aku selesai, si Takmirul telah datang dan menjerit melihatku menggunakannya jarumnya. Ia menangis sekerasnya dan membuat seisi kelas menoleh ke arahku. Kini aku jadi tersangka utama. Bu Rodiyah mendatangi kami dan segera menenangkan Takmirul. Aku segera meletakkan jarumnya di atas kertas gambarnya dan kembali ke jarum tumpulku sambil mendongkol. Saat itulah aku merasakan perih luar biasa di pahaku. Jempol dan telunjuk bu Rodiyah menekan dan memilinnya dengan gemas. Sakitnya jangan ditanya.
Tiba-tiba kakak-kakak kelas nol besar berteriak ketakutan di luar. Aku segera berlari ke arah halaman. Beberapa anak kelas nol besar berlari ke dalam kelas. Kulihat adikku Ema sedang ada di atas sepeda roda tiga bersama ibuku di dekatnya. Ibu sedang menyuapi adik bungsuku Ana di dalam gendongannya. Dari arah jalan raya anak-anak kelas nol besar lainnya berhamburan ke arah ruang kelas. Di belakang mereka seekor monyet berlari dengan cepat mengejar mereka.
Aku berlari mendekati adikku. “Em... Awas... Tiarap...”teriakku macam seorang kapten memperingatkan anak buahnya dalam pertempuran. Setelah dekat, aku segera tiarap. Si monyet berlalu melewati kami. Monyet itu menuju ruang kelas yang telah ditutup. Dicakarnya mbak Siti di pelipis kiri. Darah segar mengucur deras diiringi jeritan dan tangisan kakak-kakak kelas nol besar. Suasananya benar-benar mencekam.
Monyet itu lantas menggelayut di jendela kaca dan menatap ke dalam.
Cak Bandi, penjual gorengan, dengan sigap menginjak rantai yang membelenggu monyet itu dan memegang dua tangannya erat-erat. Dibawanya monyet itu ke rumah guk Khoiri.
Mbak Siti dilarikan ke Puskesmas yang jaraknya sepuluh kilometer dengan sepeda pancal. Hingga kini luka bekas cakaran monyet itu masih ada di muka mbak Siti. Luka itu membentuk angka 111.



Jumat, 13 Februari 2015

Jangan Sekolah

Akhirnya aku sekolah! Betapa senang hatiku setelah hampir setahun merengek minta sekolah pada orang tuaku. “Lulus TK aja belum, kok minta SD...” ujar ibuku suatu ketika.
Tapi aku tidak mau tahu. Aku harus sekolah SD seperti kakak-kakakku. Aku ingin segera memakai seragam merah hati dan putih seperti mereka. Aku ingin berangkat dan pulang bersepeda. Aku ingin pergi ke sekolah dengan tas di pinggang, dan bukan melenggang dengan botol minuman dikalungkan di leher macam anak TK. Aku ingin segera lulus.
“Mana bisa kamu lulus... Lha wong kamu bolos berhari-hari...” goda mbak Aci, kakak perempuanku.
Aku ada alasan mengapa bolos hingga hari itu dan mungkin selamanya. Dua minggu yang lalu aku mendapat nilai nol di pelajaran Berhitung. Kertas ulangan dengan angka nol sebesar telur mata sapi telah aku remas dengan geram dan aku buang ke halaman.
“Lagian, kenapa juga kamu dapat nol?” tanya mbak Aci dengan nada menyalahkan.
“Memangnya tidak boleh dapat nol?” bapakku membela. Lega rasanya ada yang membelaku, “Bapak juga pernah dapat nol, kok. Kalau nol lebih baik? Daripada menyontek juga... Lagipula, adikmu ini ‘kan pasti ada alasan tepat.”
“Iya, Dek. Kenapa kamu keluar dari TK?” tanya mbak Aci kemudian.
Aku ragu untuk menjawab. Ibu berlalu di hadapanku. Kalau aku salah menjawab, bisa-bisa dipukulnya aku ini. Ibu sering main tangan, sih.
“Bapak jangan membela dia terus, nanti jadi manja,” ibu mengingatkan sambil membuai adik bungsuku dalam gendongannya.
Bapak hanya mengangkat alis kanannya. Ia lalu memperbesar volume televisi hitam-putih yang sedang menyiarkan berita nasional.
Aku tidak mungkin berterus terang kepada orang-orang dewasa ini. Mereka terlalu jahat bagi anak-anak polos macam aku. Mereka selalu punya siasat untuk menindas yang lebih muda.
            Hanya pada embah aku bisa berterus terang. Embah adalah ibu kandung ibuku yang seringkali tinggal bersama kami. Sejak kakek menikah lagi, beliau sering tinggal berpindah-pindah ke rumah anak-anaknya yang tiga orang itu.
“Masa’, Mbah, semua jawabanku disalahkan. Padahal menurutku benar semua itu. Himpunan lima ayam ditambah himpunan lima cacing sama dengan lima ayam.”
“Kok begitu?” embah seperti protes.
“Lha, ‘kan satu ayam makan satu cacing? Pas, deh. Lima ayam, lima cacing. Ayam di belakang rumah ‘kan makan cacing?” Aku langsung teringat si Blorok yang pernah memakan cacing umpan pancing kami waktu musim memancing.
            Embah tertawa terkekeh-kekeh. Gigi-gigi gerahamnya yang sebagian besar telah tanggal sampai terlihat. Aku bingung melihat nenekku yang sangat baik ini. Ketika beliau telah menguasai diri, beliau mengatakan bahwa aku boleh saja tidak sekolah. Beliau lalu bercerita pada bapakku.
            Alangkah malunya aku sejak hari itu. Seluruh anggota keluarga seakan-akan mencemoohku tiap detik hanya karena himpunan ayam dan himpunan cacing. Meskipun bapak ikut menertawakanku, namun beliau akhirnya membelaku. “Lha ayam dikumpulin sama cacing...habislah.”
            Sejak saat itu keluarga mendukungku untuk tidak bersekolah di TK Dharma Wanita. Mereka memberiku keleluasaan untuk bertualang sepanjang pagi dengan syarat: aku pulang saat makan siang dan mengaji di sore hari.
            Toh aku tiada sendiri. Ada Mirsoda yang juga tidak sekolah lagi karena sakit telinga. Kemasukan padi, kata orang-orang. Telinganya seringkali mengeluarkan cairan putih susu. Untuk berobat belum ada uang.
            Maka aku pun bermain setiap hari bertemankan Mirsoda. Tentu mainnya tidak bisa jauh-jauh karena ia sakit. Kalau tidak di rumahnya, ya di rumahku. Karena hanya berdua, permainan kami tidak seru. Paling hanya bermain mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali atau berkemah di dalam rumah. Anehnya, meski membosankan, aku tiada pernah ada keinginan untuk kembali mengenyam bangku TK. Aku masih sakit hati dengan guru-guru TK yang ada. Yang membuatku sakit hati bukan hanya masalah himpunan ayam dan cacing saja, melainkan masih banyak lagi.
            Pernah suatu ketika aku berteriak di kelas, “Bu... Darius mencret...” Eh, pahaku langsung dicubit bu Rodiyah. Padahal aku hanya ingin menunjukkan ke semua anak agar waspada dengan bau yang akan timbul dan agar guru-guru segera menangani Darius di kamar mandi. Ternyata niat baikku disalah artikan. Bahkan sampai sekarang si Darius membuang muka tiap bertemu denganku. Pasti gara-gara cubitan itu ia jadi ikut menyalahkanku. Coba kalau waktu itu aku tidak dicubit, semisal guru-guru segera bertindak mengamankan Darius, pasti Darius berterima kasih padaku.
            Lain halnya dengan peristiwa Sabtu Kelabu. Tiap Sabtu adalah siksaan, sebab hari Sabtu ada kegiatan makan bersama. Betapa aku benci makan bersama. Semua anak harus berbaris mengantre makanan dan minuman terus berlomba-lomba makan. Yang selesai duluan disebut juara. Yang paling akhir makannya membawa label pecundang kemana-mana. Yang paling akhir itu selalu aku.
            Suatu kali ketika aku bermain di halaman rumah Mirsoda, aku dibuat terpana oleh seorang guru baru yang cantik dan baik. Guru baru itu berlalu di hadapanku berdampingan dengan guru-guru yang lain. Dari jauh aku menyaksikan mereka sedang mebicarakan aku. Sesekali guru baru itu berpaling ke arahku. Aku pura-pura sibuk.
            Guru baru itu mendekatiku sepulang sekolah. “Kenapa tidak sekolah?” tanya beliau sambil tersenyum.

            Aku langsung kabur saat itu juga.