Sekolah
itu benar-benar hijau. Halamannya penuh pepohonan dan dinding serta kusen pintu
dan jendela bernuansa hijau. Lukisan di dinding juga dominan hijau. Lubang
angin di atas pintu dan jendela dicat hijau tua. Satu-satunya yang tidak
berwarna hijau barangkali kaca jendela dan pintu.
Sebelum
menjadi TK, gedung ini digunakan sebagai markas Koramil, markas tentara tingkat
kecamatan. Setelah Koramil memiliki gedung sendiri, kakek menggunakan gedung
ini untuk TK. Berada satu halaman dengan rumahku, bisa dibayangkan betapa aku
sulit untuk membolos. Semua guru pasti melewati halaman depan rumahku menuju TK
itu. Jika aku sampai bertemu teman-teman dan guru-guru sebelum mandi, malulah
aku. Hasilnya, aku selalu siap sebelum yang lain datang.
Aku
tidak pernah kesulitan menemukan baju seragam. Seluruh pakaian telah dinamai
dengan sulaman oleh ibuku, perempuan luar biasa dengan enam anak. Baju-baju itu
disimpan di kamar khusus baju. Satu keranjang besar untuk masing-masing anak.
Keranjangku berwarna oranye, warna kesukaan. Jika celana atau baju tidak aku
temukan, aku langsung beralih ke keranjang biru milik abangku. Ia masih
menyimpan baju seragam TK-nya meski ia telah bersekolah di SD. Oleh karenanya
aku tak pernah merepotkan siapapun untuk urusan seragam ini.
Aku
murid istimewa. Ketika murid perempuan lainnya wajib memakai rok, aku beda.
Seragamku semua adalah celana. Saat itu aku enggan memakai rok. Kalau ada yang
memaksaku memakai rok, aku menurut, tapi rok itu pun sebentar saja menempel di
tubuhku. Sebentar kemudian telah tergantung pula di tali jemuran atau di atas
genting jika aku benar-benar marah.
Setelah
siap, aku biasanya langsung berangkat. Aku tidak pernah membawa bekal makan
atau minum karena jika haus, cukup berlari ke dapur atau ruang makan. Sering
juga aku meminta makanan yang dibawa teman-teman. Asal tidak ketahuan bapak,
meminta makanan dari orang lain tidak mengapa.
Temanku
yang datang paling awal namanya Sami’un. Konon ia dinamai persis dengan nama
kakekku karena ayahnya ingin ia jadi orang hebat seperti kakek. Ayahnya dulu
bekerja pada kakek sebagai pengurus sapi dan kuda bersama beberapa orang yang
lain.
Sami’un
ini kasihan sekali. Meski berasal dari keluarga miskin, ia sangat bersemangat sekolah.
Seragamnya bekas orang lain. Sepatu ia tak punya, tapi kedua kakinya
terlindungi tas kresek hitam. Di kedua lututnya terdapat borok yang tak kunjung
sembuh. Hidungnya selalu mengeluarkan ingus. Kadang-kadang ingusnya
menggelembung jika ia bernapas. Rambutnya berminyak tanda tak pernah keramas.
Telinganya sesekali juga mengeluarkan cairan putih susu seperti temanku
Mirsoda. Entah mengapa beberapa temanku menderita penyakit yang sama.
Sahabatku
TK bernama Yulyaningsih dan Nur Chamala Annisa. Sebut saja Yuli dan Anis.
Mereka juga datang pagi-pagi sekali. Aku suka berteman dengan mereka berdua.
Mereka tidak pernah membentakku. Memukulku juga tidak. Mencubit juga tak
pernah. Anis selalu membawa jajanan yang dia ambil dari toko ibunya. Yuli
selalu membawa susu hangat. Perpaduan yang pas.
Yuli
dan Anis tidak banyak bicara. Mereka juga tidak pernah sampai menjerit hanya
karena jajannya diminta.
Biasanya
ketika kami sudah datang, kami duduk-duduk di teras rumah kakek. Kadangkala
kami menceritakan mimpi masing-masing, acara TVRI semalam, hantu di pohon Gayam
wak Tun, atau tontonan Warkop DKI dari layar misbar di lapangan kampung.
Sekolah
kami tidak memiliki lonceng. Memang ada sebuah kentongan. Kentongan yang ada di
samping gedung tidak untuk dipukul sembarangan. Kentongan itu hanya untuk memanggil
warga jika ada kebakaran, pencurian, atau rapat besar. Itu pun harus atas
perintah kakekku. Satu-satunya penanda masuk adalah kedatangan guru-guru yang
berjumlah tiga orang itu.
Guru-guru
TK berangkat dari rumah mereka berjalan kaki. Di belakang mereka bergerombol
beberapa anak yang rumahnya mereka lalui. Aku tahu benar mengapa mereka ikut
dalam rombongan guru-guru: karena ada tiga bahaya yang harus dilalui. Bahaya
pertama, anjing Herder pak Tommy. Anjing ini dilepas bebas di halaman rumah dan
jika diganggu-dan tak mungkin anak-anak seperti kami tidak mengganggunya, maka
ia tidak segan mengejar kami. Bahaya kedua, si nenek gila yang suka mengamuk
dengan melempar segala peralatan dapur dan kadang batu sebesar kepalan tangan.
Bu Rodiyah pernah mengajari kami cara agar terhindar dari amukan orang gila,
yakni dengan tidak menggodanya dan tidak menatap matanya. Keduanya mustahil
dilakukan. Bagaimanapun juga, orang gila adalah tontonan yang lebih menarik
ketimbang acara Kelompencapir. Bahaya ketiga ialah monyet guk Khoiri. Monyet
ini sangat ganas. Segala benda yang dilemparkan pasti digigitnya, macam adik
bungsuku saja. Meski monyet ini dirantai, tetap saja ia cukup menakutkan.
Rantainya itu sangat panjang sampai menjangkau separuh jalan desa.
Kebiasaan
kami, jika guru-guru datang, kami langsung mencium tangan mereka satu per satu.
Setelah itu semua murid memasuki ruang kelas dan memberi salam dengan aba-aba.
“Berdiri!
Bersiap! Beri hormat! Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!”
Berikutnya
baca Pancasila keras-keras dan berdoa. Barulah selepas itu semua boleh duduk.
Kami punya tempat duduk masing-masing. Tempat duduk ini telah kami tandai.
Tempat duduk dari bangku panjang itu digunakan untuk enam anak. Tepat di
bagianku, aku tempeli tato gosok Superman dan Fantastic Four. Kalau ada yang
berani menduduki tempatku ini, pasti aku laporkan bu guru.
Tempat
dudukku ini sangat strategis, yakni paling belakang dan dekat pintu. Begitu
guru membubarkan kami, aku bisa langsung berlari keluar sambil berteriak-teriak
“Hore!”
Pelajaran
hari ini ialah mencoblos. Guru kami membagikan jarum agak tumpul kepada kami.
Kami diminta mencoblos gambar buah sesuai dengan garis tepinya. Rupanya jarum
yang tumpul tidak cukup sehingga bu guru membagikan jarum runcing pada beberapa
teman. Tentu saja mereka yang memperoleh jarum runcing bisa mencoblos dengan
rapi. Hasilnya, bentuk buah mereka lebih bagus.
Teman
di sebelahku, Takmirul, mendapat jarum runcing. Ia seperti kesulitan
menggunakan jarumnya. Ini dikarenakan usianya dua tahun lebih muda dari kami semua.
“Tukar, yuk?”tawarku padanya. Ia menggeleng.
Ia
menusukkan jarumnya tepat di garis tepi gambar buah sirsaknya, lalu
menggesernya ke samping menurut garis dan tentu ini membuat gambarnya robek. Ia
lalu menghambur ke bu Rodiyah dan meminta lembaran gambar buah lagi. Saat itulah
aku dengan cepat mengambil jarumnya dan menusuki garis tepi gambar buah anggurku.
Sebelum aku selesai, si Takmirul telah datang dan menjerit melihatku
menggunakannya jarumnya. Ia menangis sekerasnya dan membuat seisi kelas menoleh
ke arahku. Kini aku jadi tersangka utama. Bu Rodiyah mendatangi kami dan segera
menenangkan Takmirul. Aku segera meletakkan jarumnya di atas kertas gambarnya
dan kembali ke jarum tumpulku sambil mendongkol. Saat itulah aku merasakan
perih luar biasa di pahaku. Jempol dan telunjuk bu Rodiyah menekan dan
memilinnya dengan gemas. Sakitnya jangan ditanya.
Tiba-tiba
kakak-kakak kelas nol besar berteriak ketakutan di luar. Aku segera berlari ke
arah halaman. Beberapa anak kelas nol besar berlari ke dalam kelas. Kulihat adikku
Ema sedang ada di atas sepeda roda tiga bersama ibuku di dekatnya. Ibu sedang menyuapi
adik bungsuku Ana di dalam gendongannya. Dari arah jalan raya anak-anak kelas
nol besar lainnya berhamburan ke arah ruang kelas. Di belakang mereka seekor
monyet berlari dengan cepat mengejar mereka.
Aku
berlari mendekati adikku. “Em... Awas... Tiarap...”teriakku macam seorang
kapten memperingatkan anak buahnya dalam pertempuran. Setelah dekat, aku segera
tiarap. Si monyet berlalu melewati kami. Monyet itu menuju ruang kelas yang
telah ditutup. Dicakarnya mbak Siti di pelipis kiri. Darah segar mengucur deras
diiringi jeritan dan tangisan kakak-kakak kelas nol besar. Suasananya
benar-benar mencekam.
Monyet
itu lantas menggelayut di jendela kaca dan menatap ke dalam.
Cak
Bandi, penjual gorengan, dengan sigap menginjak rantai yang membelenggu monyet
itu dan memegang dua tangannya erat-erat. Dibawanya monyet itu ke rumah guk
Khoiri.
Mbak
Siti dilarikan ke Puskesmas yang jaraknya sepuluh kilometer dengan sepeda
pancal. Hingga kini luka bekas cakaran monyet itu masih ada di muka mbak Siti. Luka
itu membentuk angka 111.

