"Bu, aku lelah dengan ini semua," keluh Rara. Gadis berambut gelombang itu memang tampak kelelahan. Hari-hari belakangan terlalu berat bagi penyuka nasi pecel itu. Aku dengar dari temannya kalau kemarin ia dilabrak Sara.
"Aku ingin berhenti. Aku ingin melanglang buana. Aku ingin bertemu dengan orang-orang baru," katanya lagi tanpa memandangku sedikit pun.
Aku menyandarkan diri ke dinding. Bangku taman yang kududuki kebetulan selesai dipakai syuting film Sosiologi, jadi masih ada di samping kelas X.K yang berdampingan dengan taman dan kolam itu. Suara gemericik air kolam serasa menenangkan jiwa. Begitu pula kicauan burung-burung kecil berkepala oranye yang banyak bersarang di atas pohon Trembesi yang teduh. Oh, betapa mereka semua seperti sedang berkonser untukku.
"Ra, aku sepertinya lebih lelah lagi daripada kamu. Aku seperti tak lagi bernyawa, sebab ada yang merampas hatiku dengan semena-mena, tanpa aku tahu penyebabnya, tanpa aku tahu salahku apa. Bahkan sampai detik ini pun aku belum mendapat penjelasan apa pun," kataku pula.
"Sabar, Bu... Murid ibu tidak cuma satu itu. Ibu masih punya seribu tujuh belas murid lagi... Apakah karena satu orang saja ibu mengorbankan profesionalitas pekerjaan?" saran Afi, gadis berambut lurus pendek dan penggemar Lee Min Ho itu.
Aku melirik sebentar kepadanya. Hari ini dia bijaksana. Kemarin dia menangis karena remidi Kimia-nya masih juga jelek. Tak seperti aku yang tetap tersenyum walau nilai-nilai MIPA-ku jelek. Kalau tidak naik kelas, ya sudahlah. Buat apa dipikirkan.
Tapi tentang masalah satu ini kenapa aku tidak bisa se-ringan itu? Hanya karena seorang murid yang tiba-tiba berubah sikap dan menjaga jarak dariku, aku jadi sedih luar biasa. Serasa jantungku tak lagi teraliri darah segar, dan hatiku hujan deras adanya.
"Tak usah risaukan dia lagi, Bu. Barangkali benar kata guru-guru lain, bahwa dia berbaik-baik hanya untuk menjilat ibu, agar dapat nilai bagus."
Aku tak mau meyakini itu. Bagiku, dia tetap anak yang baik, apa pun kata kalian. Tanpa aku dia pasti bisa mendapatkan nilai yang bagus. Tanpa menjilatku, aku yakin dia tetap mendapat nilai cemerlang dariku.
Aku berujar lagi, "ketika kalian menyarankan aku untuk memberinya coklat, aku langsung lakukan walau aku merasa canggung untuk melakukannya, apalagi berdekatan dengan hari Valentine. Apa kata teman-temannya coba? Nanti dikira aku ada apa-apa sama dia. Terus, kalian suruh aku beri kado ulang tahun. Aku juga menuruti kalian. Yah, meski, jujur saja, aku merasa aneh sebab lama tidak berkomunikasi kok tahu-tahu kasih kado?"
Rara menghela napas. Beberapa waktu yang lalu dia terkena pneumonia. Pasti tarikan napas itu berat baginya. Ditambah lagi beban masalah dariku. Belum lagi dia dijauhi teman-temannya.
Terdengar bel tanda masuk berbunyi. Aku ada kelas di X.J, tak jauh dari kelas X.K tempat aku duduk-duduk saat ini. Aku tidak ingin perasaanku terbawa ke dalam kelas. Aku harus profesional. "Aku harus pergi, kalian juga," ujarku pada kedua penghuni XI.IA1 itu. Mereka tak bergeming.
Kelas mereka jauh--harus berjalan melewati deretan gedung laboratorium Fisika, ruang guru, gedung laboratorium Bahasa, dan kamar mandi. Kalau mereka tidak bersegera, tentu akan terlambat masuk. Kalau mereka sampai terlambat masuk, tentu hasilnya adalah poin afektif mereka terpotong.
"Kalian harus kembali," kataku lagi.
***
Putriku tidur kala aku tiba di rumah. Akhir-akhir ini dia sering tidur sore hari. Setelah UNAS, hidup terasa membosankan, katanya. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Setiap hari kegiatannya hanya menonton televisi saja.
Kulihat matanya yang tertutup rapat. Pasti membosankan juga kalau aku jadi dia. Namun aku tak sampai hati membiarkannya bekerja paruh waktu seperti teman-temannya yang lain. Aku masih mampu memberinya uang saku, alasanku saat ia minta ijin.
Aku tak sampai hati pula hendak mengabarkan sesuatu. Aku takut dengan reaksinya nanti, jadi aku menyibukkan diri sembari menyusun-nyusun kata. Kebetulan setrikaan sedang menumpuk.
"Ma..." panggilnya lirih dari sofa beberapa saat kemudian.
"Apa?"
"Sudah dari tadi?" tanyanya sambil berjalan ke arahku. Aku mengangguk. "Ma, tadi di televisi ada berita kalau Jawa Timur UNASnya terbaik."
"Oh, ya?" aku masih terus menyetrika.
"Semoga kami lulus semua, ya, Ma... Doain SMANAM lulus semua, ya... Takut e ada yang nggak lulus."
"Iya, semoga lulus semua..."
"Oh, ya, Ma. Tadi di berita juga ada pemutasian guru dan kepala sekolah, lho."
Aku berhenti menyetrika. Apakah aku harus ceritakan sekarang? Bagaimana kalau dia tidak bersedia pindah? Bagaimana kalau ternyata dia lebih memilih ikut ayahnya di Surabaya?
Tenggorokanku tercekat. Aku kembali menyetrika. Aku belum siap berterus terang.
"Ma...."
"Mama takut kamu belum siap mendengar ini semua."
"Ma, apapun yang terjadi, mama yakin, deh, Maya bakalan tetep nemenin mama, kemana pun mama pergi."
"Janji?"
Diacungkannya jari kelingking tanda janji.
"Mama dimutasi ke Jember."
Mukanya tiba-tiba berubah cerah. "Asyik, tau, Ma.... Di sana tuh, ada pantai terindah se-Jawa. Pantai Papuma, Ma... Dari dulu aku pingin ke sana. Pasti seneng aku di sana, Ma. Aku bisa kuliah di UNEJ, atau kalau tidak diterima, aku bisa kuliah di universitas swasta."
"Jadi beneran, kamu nggak sedih?"
Dipeluknya erat-erat tubuhku. Aku senang dia mau menerima kepindahanku.
***
Hari ini hari terakhirku di SMAN 2 Gedangan. Berkas-berkas di gudang telah aku bawa pulang sehari sebelumnya. Kini saatnya berpamitan pada guru-guru dan ketiga siswi manis kelas XI.IA1. Sayangnya mereka sedang mengikuti ulangan. Terpaksa aku menulis surat untuk mereka.
Sidoarjo, 23 Mei 2013
Buat : Afi, Rara, dan Nana
Dear Afi, Rara, dan Nana,
Aku adalah aku, bukan orang lain, jadi jangan samakan aku dengan orang lain. Aku begini, orang lain begitu. Ya sudah.
Aku sering ceplas-ceplos, sering menyakitkan. Ya, maaf.
Aku sesekali membuat kalian menangis. Ya, maaf, toh hatiku juga deras kala kalian menangis dan emosional karena aku.
Maaf kalau kalian sampai dijauhi sahabat-sahabat kalian karena aku, karena membela aku yang bukan siapa-siapa ini. Maaf. Maaf juga kalau kalian sampai tidak berani pergi ke kantin karena takut dengan mereka.
Kalian tidak perlu melakukan ini semua demi aku. Kalian tidak perlu ikut-ikut dimusuhi gara-gara aku. Kalian nikmati saja masa belajar kalian di SMA yang cuma 3 tahun itu. Jangan mengorbankan diri demi aku. Aku tidak layak kalian bela.
Aku terima apa yang Tuhan tetapkan untukku. Kalau mereka yang memusuhiku belum juga insyaf suatu saat nanti, aku ikhlas. Aku ikhlas sejak sekarang. Kalian tak perlu berkeberatan dengan segala sikap mereka.
Aku sudah selesai. Kita sudah selesai.
Memem
Kulipat surat itu dan kumasukkan amplop putih. Kepada teman sekelas mereka yang sedang pergi ke kamar mandi kuminta tolong serahkan seusai ulangan. Dengan langkah pasti kuberjalan menuju gerbang, gerbang baru babakan hidupku.
Sekian