Minggu, 28 Juni 2015

Mahaguru

Kau punya mahaguru? Setiap orang pasti punya. Aku pun punya. Mahaguru itu aku kenal lewat coretan-coretannya, baik di buku maupun di media massa. Mahaguruku itu mengajarkanku banyak hal, tidak hanya learning to know, learning to do, learning to be, tapi juga learning to live together.
Melalui karya-karyanya, aku belajar cara menjadi manusia penulis yang ideal, yang kukuh pendirian dan tidak tergoda tawaran menggiurkan dari berbagai pihak. Beliau berdua mengajarkanku untuk selalu berpihak pada kepentingan otakku, dalam hal ini kepentingan diri sendiri sebagai penulis, dan hal ini sangat manusiawi, meskipun seringkali aku harus bertabrakan dengan kehendak umum yang menjanjikan keselamatan sepanjang hayat.
Mahaguru yang pertama aku kenal ketika aku duduk di bangku SMA, saat aku sedang dihukum keluar dari kelas dan aku memilih perpustakaan sebagai tempat jujukan. Beliau memperkenalkan diri melalui sebuah buku kumal dan kusut berjudul Mengarang Itu Gampang. Gaya penulisannya yang lugas dan interaktif membuat kami lekas akrab laiknya sahabat lama.
Dalam kami menjalin tali persahabatan, tak sekalipun beliau menanyakan apa agamaku, dan sebaliknya, aku pun tak pernah menanyakan apa agama beliau. Beliau juga tak pernah menanyakan aku ini anak orang kaya atau miskin, anak seorang kapitalis atau liberal, anak seorang militer atau sipil. Akulah yang banyak bertanya, itu pun masalah mengarang saja. Tak lebih, tak kurang.
Satu pesan beliau yang terus aku kenang ialah: Kalau niat menulis, ambil kertas dan pensil atau mesin ketik. Jangan menunda-nunda. Segera tuangkan isi otakmu ke dalam tulisan. Dari situ aku tahu mengapa ide-ide beliau sangat brilian untuk tema-tema biasa yang juga sudah digarap penulis-penulis lain. Sebagai contoh, ibu. Sudah banyak penulis yang membahas ibu, namun beliau meramu karangannya sedemikian rupa sehingga novel Dua Ibu-nya memiliki rasa dan aroma yang khas, yang berbeda dengan rasa dan aroma karangan penulis lain. Dalam novel ini, beliau seolah mengiming-imingi kita dengan sosok ibu pertama yang begitu mengabdi, yang mengorbankan kebahagiaan dirinya demi anak-anaknya, yang mendidik mereka dengan penuh dedikasi, serta sosok ibu kedua yang memanjakannya dengan kemewahan dan memujanya dengan perlakuan istimewa.
Bidikan mahaguruku yang ini selalu realita yang ada di masyarakat, bahkan kalaulah boleh, aku ingin menyebut beliau sebagai pengarang surrealis, sebab beliau tidak hanya menangkap realita saja, tapi juga apa yang terjadi di baliknya, yang beliau rangkum dengan indahnya dan akhirnya beliau suguhkan pada kita. Beliau sebenarnya memandang realita dengan kacamata yang sama dengan kita, hanya saja, kacamata kita kadang sudah berembun sehingga apa yang kita pandang, tidak sama dengan apa yang beliau pandang. Pemandangan beliau jelas lebih jernih sehingga pena beliau pun lebih tajam dan akurat.
Mahaguruku berikutnya ialah seorang pengarang kelahiran Victor Harbour, Australia. Aku mengenalnya ketika makan bakso di warung yang jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari rumah. Di atas meja warung, seorang batita, rupanya cucu pemilik warung, asyik membuka-buka sebuah buku dengan banyak gambar kartun di dalamnya dan di kulit buku. Aku tertarik untuk memandang sejurus dua jurus pada keterangan di bawah gambar. Tiba-tiba si bayi menyobek halaman itu. Betapa aku terkejut bukan kepalang. “Adik, jangan disobeklah... ‘Kan sayang itu...” pintaku pada sang bayi. Sang nenek datang segera dan mengangkat bayi itu. “Jangan disobek... Sayang..., yah?” ujar si nenek sambil mengayun-ayunkan cucunya itu. Tanpa menunggu lama aku pun meraih buku berkulit putih dan bergambar orang melompat dan berjudul ‘Being Happy’ dari atas meja dan meletakkannya ke dekatku.
Tak kuhiraukan lagi makananku yang belum tentu tiap hari aku mampu beli itu. Ya, saat itu aku sangat miskin. Untuk bertahan hidup aku mengajar privat beberapa murid sekolah swasta ternama. Bahkan untuk mencapai rumah mereka yang jaraknya bisa lebih dari sepuluh kilometer, aku bersepeda pancal karena tak mampu membayar ongkos bemo.
Aku yakin pertemuanku dengan buku itu sudah diatur sama Allah untuk menjawab doa-doaku selama ini. Allah, untuk kesekian kalinya dalam hidupku, memberikan penyelesaian yang indah atas berbagai masalahku.
Buku itulah yang kemudian mengubah hidupku. Buku itu luar biasa. Aku sempat menganggapnya kitab suci yang wajib kubaca tiap hari. Kini aku membacanya ketika aku sedang susah saja. Halaman yang sobek aku carikan salinannya di perpustakaan dan aku tambal. Setelah aku memiliki cukup uang, aku membeli seri yang lain yang ditulis mahaguruku itu. Ilmu yang kudapatkan dari buku itulah yang aku gunakan untuk menyelenggarakan les dengan metode hypnoterapi. Alhasil murid-muridku Student Power sukses menjadi insan yang berkarakter dan berbeda. Aku selalu tegaskan kepada mereka bahwa kitalah yang bisa mengubah nasib kita. Kalau kita mau nasib kita bagus, maka kitalah yang harus menatanya. Menjadi pribadi yang biasa memang sebuah pilihan, namun menjadi pribadi yang luar biasa adalah pilihan yang lebih baik. Berikan usaha yang luar biasa untuk mengubah nasibmu, karena aku yang anak petani miskin saja bisa, apalagi kalian?
Terima kasih mahaguruku, Arswendo Atmowiloto dan Andrew Matthews. Terima kasih Allah, Engkau telah memperkenalkanku pada beliau-beliau ini.

Malang, 29 Juni 2015 pukul 01.53 WIB (JR)