Kau
punya mahaguru? Setiap orang pasti punya. Aku pun punya. Mahaguru itu aku kenal
lewat coretan-coretannya, baik di buku maupun di media massa. Mahaguruku itu
mengajarkanku banyak hal, tidak hanya learning
to know, learning to do, learning to be, tapi juga learning to live together.
Melalui
karya-karyanya, aku belajar cara menjadi manusia penulis yang ideal, yang kukuh
pendirian dan tidak tergoda tawaran menggiurkan dari berbagai pihak. Beliau
berdua mengajarkanku untuk selalu berpihak pada kepentingan otakku, dalam hal
ini kepentingan diri sendiri sebagai penulis, dan hal ini sangat manusiawi,
meskipun seringkali aku harus bertabrakan dengan kehendak umum yang menjanjikan
keselamatan sepanjang hayat.
Mahaguru
yang pertama aku kenal ketika aku duduk di bangku SMA, saat aku sedang dihukum
keluar dari kelas dan aku memilih perpustakaan sebagai tempat jujukan. Beliau
memperkenalkan diri melalui sebuah buku kumal dan kusut berjudul Mengarang Itu Gampang. Gaya penulisannya
yang lugas dan interaktif membuat kami lekas akrab laiknya sahabat lama.
Dalam
kami menjalin tali persahabatan, tak sekalipun beliau menanyakan apa agamaku,
dan sebaliknya, aku pun tak pernah menanyakan apa agama beliau. Beliau juga tak
pernah menanyakan aku ini anak orang kaya atau miskin, anak seorang kapitalis
atau liberal, anak seorang militer atau sipil. Akulah yang banyak bertanya, itu
pun masalah mengarang saja. Tak lebih, tak kurang.
Satu
pesan beliau yang terus aku kenang ialah: Kalau niat menulis, ambil kertas dan
pensil atau mesin ketik. Jangan menunda-nunda. Segera tuangkan isi otakmu ke
dalam tulisan. Dari situ aku tahu mengapa ide-ide beliau sangat brilian untuk
tema-tema biasa yang juga sudah digarap penulis-penulis lain. Sebagai contoh,
ibu. Sudah banyak penulis yang membahas ibu, namun beliau meramu karangannya
sedemikian rupa sehingga novel Dua Ibu-nya
memiliki rasa dan aroma yang khas, yang berbeda dengan rasa dan aroma karangan
penulis lain. Dalam novel ini, beliau seolah mengiming-imingi kita dengan sosok
ibu pertama yang begitu mengabdi, yang mengorbankan kebahagiaan dirinya demi
anak-anaknya, yang mendidik mereka dengan penuh dedikasi, serta sosok ibu kedua
yang memanjakannya dengan kemewahan dan memujanya dengan perlakuan istimewa.
Bidikan
mahaguruku yang ini selalu realita yang ada di masyarakat, bahkan kalaulah
boleh, aku ingin menyebut beliau sebagai pengarang surrealis, sebab beliau
tidak hanya menangkap realita saja, tapi juga apa yang terjadi di baliknya,
yang beliau rangkum dengan indahnya dan akhirnya beliau suguhkan pada kita.
Beliau sebenarnya memandang realita dengan kacamata yang sama dengan kita,
hanya saja, kacamata kita kadang sudah berembun sehingga apa yang kita pandang,
tidak sama dengan apa yang beliau pandang. Pemandangan beliau jelas lebih
jernih sehingga pena beliau pun lebih tajam dan akurat.
Mahaguruku
berikutnya ialah seorang pengarang kelahiran Victor Harbour, Australia. Aku
mengenalnya ketika makan bakso di warung yang jaraknya kurang lebih tiga
kilometer dari rumah. Di atas meja warung, seorang batita, rupanya cucu pemilik
warung, asyik membuka-buka sebuah buku dengan banyak gambar kartun di dalamnya
dan di kulit buku. Aku tertarik untuk memandang sejurus dua jurus pada
keterangan di bawah gambar. Tiba-tiba si bayi menyobek halaman itu. Betapa aku
terkejut bukan kepalang. “Adik, jangan disobeklah... ‘Kan sayang itu...”
pintaku pada sang bayi. Sang nenek datang segera dan mengangkat bayi itu.
“Jangan disobek... Sayang..., yah?” ujar si nenek sambil mengayun-ayunkan
cucunya itu. Tanpa menunggu lama aku pun meraih buku berkulit putih dan
bergambar orang melompat dan berjudul ‘Being Happy’ dari atas meja dan
meletakkannya ke dekatku.
Tak
kuhiraukan lagi makananku yang belum tentu tiap hari aku mampu beli itu. Ya,
saat itu aku sangat miskin. Untuk bertahan hidup aku mengajar privat beberapa
murid sekolah swasta ternama. Bahkan untuk mencapai rumah mereka yang jaraknya bisa
lebih dari sepuluh kilometer, aku bersepeda pancal karena tak mampu membayar ongkos
bemo.
Aku
yakin pertemuanku dengan buku itu sudah diatur sama Allah untuk menjawab
doa-doaku selama ini. Allah, untuk kesekian kalinya dalam hidupku, memberikan
penyelesaian yang indah atas berbagai masalahku.
Buku
itulah yang kemudian mengubah hidupku. Buku itu luar biasa. Aku sempat
menganggapnya kitab suci yang wajib kubaca tiap hari. Kini aku membacanya
ketika aku sedang susah saja. Halaman yang sobek aku carikan salinannya di
perpustakaan dan aku tambal. Setelah aku memiliki cukup uang, aku membeli seri
yang lain yang ditulis mahaguruku itu. Ilmu yang kudapatkan dari buku itulah
yang aku gunakan untuk menyelenggarakan les dengan metode hypnoterapi. Alhasil
murid-muridku Student Power sukses menjadi insan yang berkarakter dan berbeda.
Aku selalu tegaskan kepada mereka bahwa kitalah yang bisa mengubah nasib kita.
Kalau kita mau nasib kita bagus, maka kitalah yang harus menatanya. Menjadi
pribadi yang biasa memang sebuah pilihan, namun menjadi pribadi yang luar biasa
adalah pilihan yang lebih baik. Berikan usaha yang luar biasa untuk mengubah
nasibmu, karena aku yang anak petani miskin saja bisa, apalagi kalian?
Terima
kasih mahaguruku, Arswendo Atmowiloto dan Andrew Matthews. Terima kasih Allah,
Engkau telah memperkenalkanku pada beliau-beliau ini.

