Selasa, 03 Maret 2015
Bungker Rahasia
Suatu siang, kakek kedatangan tamu asing dan sesuai norma
kesopanan, kami semua menyingkir ke dalam rumah. Sialnya, mobil balapku
tertinggal di kolong kursi yang diduduki kakek.
Lama menunggu, sang tamu tak kunjung pulang. Malah mereka
semakin serius bercakap-cakap. Jika mobil balapku itu tidak aku selamatkan saat
itu juga, bisa-bisa diambil anak lain.
Sampai kakak-kakak nol besar pulang pun tamu itu tak
beranjak dari kursinya. Padahal teh manis di gelas sudah habis.
Tamu berseragam tentara itu masih juga betah di pendopo
bersama kakek. Kumisnya yang tebal tampak menyeramkan. Sesekali orang itu
mengubah posisi duduknya.
Aku tidak sabar lagi. Mobil balapku harus aku ambil. Aku
merangkak mendekat ke bawah kursi kayu itu. Tanganku yang pendek kesulitan meraih
mobil balap mainan berwarna merah itu. tiba-tiba sebuah tangan kekar menangkap
tanganku.
“Cucu sampean?” tanya tamu itu.
Kakek merengkuh tubuhku mendekat ke beliau. Aku pun duduk
di sebelah.
“Ini cucuku dari anak pertama.”
“Kelas berapa?” tanya sang tamu sambil mencondongkan
tubuhnya ke arahku.
“Tuh, ditanya, om, kelas berapa?” ulang kakekku.
Merah padam mukaku. Begini rasanya kalau tidak
bersekolah. Semua orang seperti mengejek. “Nol besar,” jawabku sekenanya.
Sang tamu tersenyum dan bersandar kembali. Di depannya
terdapat sebuah map hijau bertuliskan nomor-nomor. Diraihnya map itu dan
disodorkannya kepada kakek.
Kakek menerima map itu dan membukanya. Diraihnya kaca
mata dari dalam saku bajunya. Dibacanya sejurus seluruh isi map itu. Sesekali
tangannya membalik kertas-kertas di dalamnya. Sambil menunggu kakek membaca,
sang tamu menuangkan teh manis ke dalam gelas.
“Sebenarnya dia tidak bersekolah lagi. Gara-gara kesal
dapat nilai nol, katanya.”
Huh, kakek ini. Kenapa juga cerita-cerita.
Kakek memandang sejurus ke tulisan di atas kertas dalam
map itu.
Aku
penasaran dengan isi map itu. Ada huruf-huruf kecil tercetak rapi di dalamnya.
Ah, kalau saja aku boleh membacanya.
Sebelum sekolah TK, aku sudah bisa membaca. Asal ada
rangkaian huruf, pasti aku baca. Tulisan di kalender, majalah, koran, iklan, buku
pelajaran kakak-kakak, dan buku resep ibu. Khusus koran, aku hanya tertarik
membaca judulnya dan keterangan di bawah gambar. Aku paling suka jika ada
berita tentang presiden Suharto atau tentang Christine Hakim. Aku paling benci
berita kejahatan. Untungnya di rumah adanya koran Jawa Pos dan Suara Merdeka.
Iseng-iseng aku gunting gambar-gambarnya dan aku tempel di buku gambar. Hal ini
aku tiru dari bapakku. Kliping namanya. Kliping bapakku lebih lengkap. Mulai
dari berita kemenangan Muhammad Ali hingga kematian John Lennon beliau punya.
Pernikahan pangeran Charles-putri Diana, pemboman candi Borobudur, dan wafatnya
bung Hatta juga ada di kliping bapak.
Terdengar suara pujian sayup-sayup dari jauh. Sebentar lagi
pasti dhuhur.
Kupandangi
wajah kakek. Kurasakan kegelisahan mendalam dalam benak kakek. Beberapa kali
beliau menarik napas dalam-dalam. Matanya serius menelusuri tiap lekuk
simbol-simbol bunyi itu. “Kopral?” akhirnya kakek buka suara.
“Yak. Kopral,” jawab sang tamu.
“Baiklah,” kata kakek sambil meletakkan map itu di atas
meja dan meraih pena dari sakunya. Ia menanda tangani kertas itu tepat di atas
tempelan kertas kecil mirip perangko.
Sang tamu undur diri.
Kakek menggendongku masuk ke pintu besi yang selama ini
aku kira tempat menyimpan uang. Beliau lantas menyalakan lampu bohlam kemudian
menutup pintu. Dadaku terasa sesak. Udaranya sedikit. “Bah, sesak...” Aku
memang memanggil kakekku ‘Abah’ seperti semua orang memanggil beliau.
Kakek menuruni tangga batu dengan hati-hati. Di dinding
ruangan itu banyak keris dipasang mulai ukuran kecil hingga besar. Di salah
satu sudut terdapat beberapa buah tombak. Kakek membuka peti kecil di atas meja
kayu. Diambilnya selembar kertas.
“Bah, itu apa?” tanyaku sambil menunjuk sebentuk tali di
dinding.
“Itu namanya pecut,” jawab kakek sambil menaiki tangga
kembali.
“Untuk apa pecut itu?”
“Untuk melecut kamu kalau nakal.”
***
Tak ada hal yang paling menyenangkan selain memiliki
kebebasan. Kebebasanku jelas: bebas dari rutinitas sekolah, bebas dari cubitan
bu Rodhiyah, bebas dari antrian makan bersama, dan bebas dari bau mencret
Darmanto. Sesederhana itu.
Saat itu seluruh sekolah sedang libur satu bulan lebih. Bulan
puasa namanya. Seluruh kegiatan dipusatkan untuk beribadah, idealnya, tapi bagi
kami, libur bulan puasa berarti petualangan panjang dan seru. Inilah bulan
dimana semua permainan digelar. Mulai dari main kartu hingga main rakit di
sungai. Bertualang ke hutan bambu atau hutan jati juga tak terlewatkan.
Di awal-awal bulan puasa, mainan kesukaan kami di malam
hari ialah petak umpet. Dari anak TK sampai SD boleh ikut main. Cara mainnya
mudah. Pertama, semua pemain berkumpul untuk menentukan pemain pertama. Cara menentukan
bermacam-macam. Bisa dengan hom pim pah, bisa juga dengan melempar kartu
gambar. Setelah itu, pemain pertama menghitung hingga lima puluh sementara yang
lain bersembunyi. Lawan yang tertangkap pertama kali akan menjadi pemain di
ronde berikutnya. Pemain harus menemukan semua lawan untuk bisa menyelesaikan
ronde itu kecuali ada lawan yang berhasil menggagalkan rondenya dengan
merobohkan susunan batu bata yang ada di dekat pemain. Dengan begini seorang
pemain pertama akan menjadi pemain sepanjang malam.
Malam itu, Limin menjadi pemain pertama. Saat ia mulai
berhitung, aku mulai berlari menjauh. Kulihat mas Dono bertukar kaos dengan
Sulis. Pintar juga.
Aku memanjat pohon mangga yang rimbun di halaman TK. Aku pasti
tak akan ketahuan. Apalagi warna kaos yang aku pakai cukup gelap.
Kulihat Nunik dan Mirsoda bersembunyi di makam mbah
Mahmud. Berani juga mereka. Bagus juga sisasatnya jadi pemain tidak akan
mungkin berani mencari ke sana.
Lain halnya dengan Hiyan. Ia bersembunyi di balik
kentongan. Sebentar juga tertangkap dia. Ratna bersembunyi di dekatnya agak
dekat pagar.
Tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa di leherku. Rasanya
seperti digigit semut.
“Ah...” teriakku sambil turun dari pohon. Rupanya tubuhku
dirubung semut rang-rang. Aku jadi sibuk menepis seluruh sisi tubuhku tanpa
mengingat lagi bahwa aku harus bersembunyi dari Limin. Ia telah berada di
dekatku.
“Riris...kamu kena,” serunya.
Satu per satu lawan berhasil ia tangkap. Akhirnya akulah
yang harus jadi pemain. Hitungan satu sampai lima puluh telah aku lakukan meski
aku melewatkan empat puluh hingga empat puluh sembilan. Beberapa lawan berhasil
aku temukan, karena mereka bersembunyi persis di tempat semula. Tinggal Hiyan
dan Limin. Limin pasti bersembunyi di tempat yang sulit ditemukan karena jelas
ia tak mau jadi pemain untuk kedua kalinya. Hiyan pasti bersembunyi di sekitar
pendopo karena tadi aku lihat kelebatnya di sana.
Limin berhasil aku temukan. Benar saja, ia bersembunyi di
lubang sampah. Mukanya hitam terkena arang bekas sampah terbakar. Sementara itu,
Hiyan belum berhasil aku temukan. Seluruh sudut pendopo telah aku cari namun
sia-sia. Beberapa kali aku harus berlari ke susunan batu bata karena digoda
kawan-kawan. “Ayo, Hiyan...cepat...” Padahal tak ada yang datang. Kawan-kawan
tertawa tiap kali aku tertipu. Lama-lama kami bosan juga.
“Hai, kalian ini...bukannya shalat tarahih malah main
saja,” ibuku marah dan meraih telingaku, menariknya, memutarnya, sakit sekali.
Semuanya bubar ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, ibu Hiyan datang ke rumah. Beliau mencari
anaknya yang tak kunjung pulang. “Katanya terakhir terlihat di halaman. Benarkah?”tanya
beliau padaku. Aku mengiyakan. Hiyan tidak muncul lagi setelah aku jadi pemain.
Seisi kampung heboh. Semua ikut mencari Hiyan. Di sungai,
di pohon-pohon, di semak-semak, di makam mbah Mahmud, dan di lubang sampah,
semua tempat telah disusurinamun hasilnya nihil.
Mbah Gelung, dukun desa, mengusulkan untuk menabuh
peralatan masak di malam hari sambil mencari Hiyan. Malam itu pun kami
kumpulkan peralatan masak yang menganggur. Aku bawa bakul nasi dari anyaman
bambu dan sendok nasi dari kayu. Abangku Roron bawa sudip dan wajan. Beberapa orang
dewasa membawa panci besar. Anak-anak perempuan tidak ada yang ikut. Mereka pasti
dilarang pergi. Semua anak laki-laki di lingkungan rumah ikut. Aku anak
perempuan satu-satunya. Itulah kenapa abangku tampak tidak senang melihat
kehadiranku.
Setelah banyak yang datang, kami pun mulai menabuh
peralatan masak itu. suaranya berisik sekali. Sayangnya bakul nasi yang kubawa
tidak menghasilkan bunyi yang keras. Hanya “duk-duk” saja yang terdengar. Abangku
terkekeh melihat mukaku yang kecewa.
Setelah lewat tengah malam, Hiyan muncul dari pendopo. Semua
orang lemas dan lega. Ibunya memeluknya erat-erat. “Dari mana saja kamu?” tanya
ibunya.
“Lho, aku main petak umpet, Ma. Aku sembunyi di situ,”jawab
Hiyan sambil menunjuk kotak besi yang merupakan pintu menuju bungker rahasia
milik kakek.
Malam itu kami tidak pulang ke rumah. Kami tertidur
kelelahan di pendopo.
Langganan:
Komentar (Atom)





