“Aku mengerti,” ucap Budi lirih, “aku
sangat mengerti.” Senyum manis pun mengembang dari bibir tipisnya.
Rizka tersenyum. Air matanya meleleh,
entah karena senang, entah karena jawabannya berbeda dengan apa yang
diharapkannya. Semakin deraslah air matanya kala Budi memeluknya erat-erat.
Rizka bukan sedang mengalah, tapi ia
harus segera mengakhiri kekacauan itu. “Toh perasaan masih bisa dialihkan,”
pikirnya. Ia pun resmi berpisah dengan Budi, setelah enam bulan yang penuh
kenangan, baik pahit maupun manis. Ia harus mengambil langkah tegas demi
menyelamatkan kekompakan kelasnya.
***
“Pagi, Anak-Anak... Bersikaplah manis
hari ini. Ada siswa baru, pindahan dari SMAN 1 Krian,” bu Kartini membuka hari
itu dengan cowok berambut ikal ke kelas XI-IPA2.
Riuh-rendah suara anak-anak perempuan
dari segala penjuru pun memenuhi udara, membuat sang wali kelas memberikan
isyarat tenang dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Semua pun tenang.
Si siswa baru pun memperkenalkan diri.
Namanya Budi Prasetyo. Badannya tak
seberapa tinggi. Rambutnya ikal dan hitam kelam. Wajahnya oval, dengan tulang
pipi menonjol. Di pipi dekat daun telinganya terdapat jambang yang agak lebat,
membuatnya nyaris sempurna sebagai lelaki di jamannya. Hidungnya mancung dan
tegas. Bibirnya tipis di bagian atas dan tebal di bagian bawah. Dengan wajah
serupa itu bisa dikatakan ia relatif tampan. Apalagi kedua matanya yang tajam
dan dalam serupa dengan yang dimiliki idola remaja saat itu, Elvis Presley.
Rizka tiba-tiba mengangkat tangan.
Bu Kartini berpaling ke arahnya dan mempersilakannya berkata. “Bu, bolehkah
saya duduk dengannya?”
“Lho, kamu ‘kan duduk dengan
Marsini? Apa kamu tega tinggalkan dia?”
“Marsini udah bosan dengan saya, Bu. Dia capek ngasih contekan...” ujar Rizka beralasan yang mengundang tawa seisi
ruangan.
Bu Kartini meminta persetujuan
Marsini setelah meminta kelas untuk tenang. Marsini yang memang sejak awal
jengah dengan sikap Rizka pun setuju tanpa mempertimbangkan resiko bahwa dia
akan duduk sendiri di belakang.
Rizka tersenyum puas meskipun sang
siswa baru hanya melihatnya dari sudut matanya.
Hari-hari pun berlalu. Rizka
mendapati kenyataan bahwa si siswa baru sangat jago ilmu hitung. Seluruh ilmu
yang membuat Rizka tertatih-tatih justru digilas dengan mudah saja oleh Budi.
Dengan cepat ia menjadi kesayangan guru-guru sains, tapi ada pula kelemahannya,
ilmu menghapal, yang sangat dikuasai Rizka. Tiap ulangan harian mata pelajaran
penuh hapalan, Rizka tampil penuh percaya diri. Kewarganegaraan, Sejarah,
Biologi, Agama, teori-teori Fisika, teori-teori Kimia, dan TIK semuanya ludes
dilahap Rizka tanpa tandingan. Sebaliknya, mata pelajaran yang kaya akan
hitungan menjadi andalan Budi. Maka timbulah apa yang dinamakan Simbiosis
Mutualisme, kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka tak terkalahkan,
kecuali oleh si Marsini, sang jago segalanya dan penghuni ranking 1 abadi.
Kerjasama itu berlanjut kepada
hubungan yang lebih dekat. Mereka seringkali mempertontonkan kemesraan di depan
umum, di kantin, di lapangan olahraga, di auditorium, di laboratorium, dan
bahkan di kelas ketika pembelajaran sedang berlangsung. Pada kelas Bahasa
Indonesia, misalnya, saat bu Dian meminta sukarelawan untuk memerankan dialog
berpasangan, Rizka langsung menggaet lengan Budi untuk berperan berdua. Hal
yang sama terjadi pada kelas Biologi, yakni saat uji golongan darah, dengan
sengaja pula Rizka memilih berpasangan dengan Budi, untuk saling mengambil
sampel darah dari jari manis masing-masing.
“Bud, sekarang kau boleh melukai jari
manisku, tapi nanti, suatu saat, aku mau kau pasang cincin kawin di jari ini,”
rayu Rizka. Budi hanya tersenyum tipis.
Ketika tiba giliran Rizka yang harus
melukai jari manis Budi, ia berujar, “...dan aku nggak mau melukai hatimu, cukup jarimu ini saja.”
Kebersamaan mereka membuat iri
sebagian siswi. Nunin, Retno, Jajang, dan Tika yang selama ini baik-baik saja
kini memusuhi Rizka. Jika ada Rizka, mereka langsung hengkang sambil
mengeluarkan hinaan kepada Rizka. Jika mereka kebetulan sekelompok kerja
dengannya, maka ia tak akan diajak bekerja sama sekali. Bahkan ketika mereka
berpapasan dengannya di kantin, dengan sengaja Nunin menyenggol baki di
tangannya. Makanan dan minumannya pun berhamburan. Nunin meminta maaf namun
diikuti dengan ejekan di balik punggung Rizka.
Rizka bukannya tidak merasa,
melainkan ia memang mengabaikan itu semua. Keluarganya yang terpandang dan
sukses memimpin kabupaten Kutoarjo selama tiga turunan telah membentuk dirinya
menjadi jiwa yang kuat. “Kalau sekedar hinaan saja, biasa,” pikirnya.
Bukan Rizka yang gelisah, ia cewek
yang kuat, tapi sahabat-sahabatnya ribut sendiri. Suatu siang sepulang sekolah,
ia dihadang di samping kelas.
“Riz, sebentar... maaf, Bud. Hari
ini kau pulanglah sendiri,” ujar Devi sambil menarik tali tas Rizka dan memberi
isyarat pada Budi untuk pergi.
“Lho, aku harus pergi. Aku ada janji
dengan Budi mau belajar bersama,” Rizka meronta.
“Belajarnya bisa ditunda. Yang ini
lebih penting. Kami hanya butuh sepuluh menitmu. Bud, kau boleh tunggu di
tempat parkir...” kata Voni agak membentak.
“Bud, tunggu aku dimobil. Aku akan
kembali,” teriak Rizka. Di hadapannya kini bergerombol sejumlah cewek: Devi,
Voni, Karina, Siska, dan Lia. “Jangan macam-macam sama aku.”
“Tenang, Kawan. Kami hanya ingin
menyampaikan sedikit hal. Kamu hanya perlu mendengarkan saja,” suara Devi yang
biasanya seperti kapal pecah tiba-tiba jadi lembut. Rizka terhipnotis.
“Kamu, dengarkan kami. Kamu harus
meninggalkan Budi,” tambah Devi.
“Lho, apa-apaan ini? Salahku apa?”
“Diam!” bentak Voni. “Tugasmu hanya
mendengarkan.”
Rizka menelan ludah. Tak disangka
sahabat-sahabatnya berubah beringas.
“Kalian harus berpisah,” lanjut Devi
“kau tak tahu dengan siapa kau menjalin hubungan. Budi itu,”
“Iya, tahu, Budi itu anak Kapolres,”
potong Rizka.
Mata Devi melotot membuat
tenggorokan Rizka tercekat.
“Budi itu kekasih Retno. Kau tak
boleh memperlakukannya seperti itu. Kau harus tahu diri.”
Rizka terdiam. Beberapa saat
kemudian ia terduduk di lantai.
“Pantas saja Retno memusuhiku
seperti itu. Kenapa aku tak menyadarinya, ya? Kenapa aku jadi begini bodoh,
ya?”
Kerumunan itu pun bubar dengan
sendirinya. Tinggal Rizka sendiri. Ia pun bangkit dan dengan langkah lunglai ia
berjalan menuju tempat parkir. Dibukanya pintu mobil Honda Civic hitam metalik
dan membungkuklah ia.
“Hari ini kita tidak jadi belajar.
Aku pulang dengan sopirku,” katanya pelan.
Mobil itu pun melaju keluar dari
halaman sekolah setelah Rizka menutup pintunya.
***
Rizka berlari tergopoh-gopoh menuju
gerbang sekolah pagi itu. Jam pertama Matematika dan gurunya tidak ramah sama
sekali. Jika sampai terlambat, ia bisa jadi perkedel hangus nanti. Apalagi
nilai ulangannya selalu di bawah KKM. Jangan sampai ia membuat gara-gara dengan
beliau.
Tiba-tiba tubuhnya terhentak ke
samping. Sebuah tangan kekar mendekap mulutnya dan menahan perutnya.
“Ssssttt...ini aku. Tenang saja.
Jangan berteriak. Ayo masuk ke mobil,” suara Budi melemaskan otot-otot
tegangnya.
Rizka pun memasuki Honda Civic hitam
dan duduk di jok depan sebelah sopir. Ia langsung memasang sabuk pengaman dan
saat Budi telah duduk di belakang kemudi, ia memandangnya dengan pandangan
penuh tanya. Budi membalas pandangan itu dengan senyuman manis.
“Kau ikut saja. Aku akan jelaskan di
perjalanan,” terang Budi.
Budi telah mendengar semua perkataan
Devi kepada Rizka. Ia pun mengaku berpacaran dengan Retno, namun telah putus
beberapa hari yang lalu, dan alasan mereka berpisah bukan karena kehadiran
Rizka, melainkan karena orang tua Budi yang melarangnya berpacaran dengan
Retno. Budi tidak ingin Rizka dipersalahkan.
“Jadi kamu mengajakaku membolos hari
ini hanya untuk memberitahuku itu?” Rizka sedikit kesal.
Budi tersenyum dan menepikan mobil.
“Pindah ke belakang dan ganti baju,” perintahnya.
Rizka membuka pintu mobil dan
berpindah ke jok belakang. “Kita ini mau kemana, sih?”
“Sudah...jangan banyak tanya...”
Di jok belakang Rizka menemukan blus
biru laut, celana jeans, dan jaket kuning. Dilepasnya baju seragam abu-abu
putihnya. “Awas kalau melirik,” ancamnya.
“Kita akan menuju taman Bungkul.
Jika kita tetap berseragam, kita akan ditangkap satpol PP.”
“Owalah... Bilang dari tadi, kek.”
Budi menginginkan mereka tetap baik
seperti sebelumnya. Rizka tidak perlu takut akan segala ancaman teman-teman. Di
taman Bungkul itu Budi sebenarnya ingin menyampaikan bahwa ia tidak ingin
berpacaran dulu. Namun rencananya berubah setelah ia iseng-iseng menguji Rizka.
Dimintanya Rizka memutar dan mengelilingi taman. “Kita akan saling membelakang
dan berjalan mengelilingi taman. Jika kau nanti menemukanku di tempat ini,
berarti kita berjodoh,” jelasnya. Rizka pun menurut. Ia berjalan mengelilingi
taman namun di tempat semula ia tak menemukan Budi.
Rizka mulai khawatir. Air hangat
meleleh di pipinya.
Hati Budi bergetar. Ia tak menyangka
kalau Rizka akan begitu sedihnya.
Dengan terisak-isak ia berjalan ke
arah tempat parkir. Sebelum langkahnya jauh, sebuah tangan kekar menghela
lengan kirinya.
“Aku
di sini. Jangan takut. Jangan menangis lagi,” bisiknya sambil mendekap Rizka.
***
Semenjak itu mereka pun berpacaran.
Akibat mereka membolos, mereka dihukum membersihkan kamar mandi selama
seminggu. Hukuman itu mereka jalani dengan suka cita. Selesai menunaikan tugas,
mereka bertemu di kantin sekolah untuk sekedar minum teh atau limun.
Aroma permusuhan di kelas semakin
membahana. Retno mengundurkan diri dari ketua kelas. Nunin mengacau dan
memprovokasi teman-temannya untuk memusuhi Rizka. Segala hal yang dilakukannya
selalu direspon negatif oleh teman-temannya. Lama kelamaan ia merasa kesepian.
Seringkali ia duduk sendiri di sudut ruang kelas, menulis atau menggambar sesuatu
di buku catatan. Lalu muncullah ide untuk mengakhiri hubungannya dengan Budi. “Satu
semester sudah cukup,” pikirnya.
