Sabtu, 22 Maret 2014

PADA SUATU SEMESTER

          
“Aku mengerti,” ucap Budi lirih, “aku sangat mengerti.” Senyum manis pun mengembang dari bibir tipisnya.
Rizka tersenyum. Air matanya meleleh, entah karena senang, entah karena jawabannya berbeda dengan apa yang diharapkannya. Semakin deraslah air matanya kala Budi memeluknya erat-erat.
Rizka bukan sedang mengalah, tapi ia harus segera mengakhiri kekacauan itu. “Toh perasaan masih bisa dialihkan,” pikirnya. Ia pun resmi berpisah dengan Budi, setelah enam bulan yang penuh kenangan, baik pahit maupun manis. Ia harus mengambil langkah tegas demi menyelamatkan kekompakan kelasnya.
***

“Pagi, Anak-Anak... Bersikaplah manis hari ini. Ada siswa baru, pindahan dari SMAN 1 Krian,” bu Kartini membuka hari itu dengan cowok berambut ikal ke kelas XI-IPA2.
Riuh-rendah suara anak-anak perempuan dari segala penjuru pun memenuhi udara, membuat sang wali kelas memberikan isyarat tenang dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Semua pun tenang. Si siswa baru pun memperkenalkan diri.
            Namanya Budi Prasetyo. Badannya tak seberapa tinggi. Rambutnya ikal dan hitam kelam. Wajahnya oval, dengan tulang pipi menonjol. Di pipi dekat daun telinganya terdapat jambang yang agak lebat, membuatnya nyaris sempurna sebagai lelaki di jamannya. Hidungnya mancung dan tegas. Bibirnya tipis di bagian atas dan tebal di bagian bawah. Dengan wajah serupa itu bisa dikatakan ia relatif tampan. Apalagi kedua matanya yang tajam dan dalam serupa dengan yang dimiliki idola remaja saat itu, Elvis Presley.
            Rizka tiba-tiba mengangkat tangan. Bu Kartini berpaling ke arahnya dan mempersilakannya berkata. “Bu, bolehkah saya duduk dengannya?”
            “Lho, kamu ‘kan duduk dengan Marsini? Apa kamu tega tinggalkan dia?”
            “Marsini udah bosan dengan saya, Bu. Dia capek ngasih contekan...” ujar Rizka beralasan yang mengundang tawa seisi ruangan.
            Bu Kartini meminta persetujuan Marsini setelah meminta kelas untuk tenang. Marsini yang memang sejak awal jengah dengan sikap Rizka pun setuju tanpa mempertimbangkan resiko bahwa dia akan duduk sendiri di belakang.
            Rizka tersenyum puas meskipun sang siswa baru hanya melihatnya dari sudut matanya.
            Hari-hari pun berlalu. Rizka mendapati kenyataan bahwa si siswa baru sangat jago ilmu hitung. Seluruh ilmu yang membuat Rizka tertatih-tatih justru digilas dengan mudah saja oleh Budi. Dengan cepat ia menjadi kesayangan guru-guru sains, tapi ada pula kelemahannya, ilmu menghapal, yang sangat dikuasai Rizka. Tiap ulangan harian mata pelajaran penuh hapalan, Rizka tampil penuh percaya diri. Kewarganegaraan, Sejarah, Biologi, Agama, teori-teori Fisika, teori-teori Kimia, dan TIK semuanya ludes dilahap Rizka tanpa tandingan. Sebaliknya, mata pelajaran yang kaya akan hitungan menjadi andalan Budi. Maka timbulah apa yang dinamakan Simbiosis Mutualisme, kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka tak terkalahkan, kecuali oleh si Marsini, sang jago segalanya dan penghuni ranking 1 abadi.
            Kerjasama itu berlanjut kepada hubungan yang lebih dekat. Mereka seringkali mempertontonkan kemesraan di depan umum, di kantin, di lapangan olahraga, di auditorium, di laboratorium, dan bahkan di kelas ketika pembelajaran sedang berlangsung. Pada kelas Bahasa Indonesia, misalnya, saat bu Dian meminta sukarelawan untuk memerankan dialog berpasangan, Rizka langsung menggaet lengan Budi untuk berperan berdua. Hal yang sama terjadi pada kelas Biologi, yakni saat uji golongan darah, dengan sengaja pula Rizka memilih berpasangan dengan Budi, untuk saling mengambil sampel darah dari jari manis masing-masing.
            “Bud, sekarang kau boleh melukai jari manisku, tapi nanti, suatu saat, aku mau kau pasang cincin kawin di jari ini,” rayu Rizka. Budi hanya tersenyum tipis.
            Ketika tiba giliran Rizka yang harus melukai jari manis Budi, ia berujar, “...dan aku nggak mau melukai hatimu, cukup jarimu ini saja.”
            Kebersamaan mereka membuat iri sebagian siswi. Nunin, Retno, Jajang, dan Tika yang selama ini baik-baik saja kini memusuhi Rizka. Jika ada Rizka, mereka langsung hengkang sambil mengeluarkan hinaan kepada Rizka. Jika mereka kebetulan sekelompok kerja dengannya, maka ia tak akan diajak bekerja sama sekali. Bahkan ketika mereka berpapasan dengannya di kantin, dengan sengaja Nunin menyenggol baki di tangannya. Makanan dan minumannya pun berhamburan. Nunin meminta maaf namun diikuti dengan ejekan di balik punggung Rizka.
            Rizka bukannya tidak merasa, melainkan ia memang mengabaikan itu semua. Keluarganya yang terpandang dan sukses memimpin kabupaten Kutoarjo selama tiga turunan telah membentuk dirinya menjadi jiwa yang kuat. “Kalau sekedar hinaan saja, biasa,” pikirnya.
            Bukan Rizka yang gelisah, ia cewek yang kuat, tapi sahabat-sahabatnya ribut sendiri. Suatu siang sepulang sekolah, ia dihadang di samping kelas.
            “Riz, sebentar... maaf, Bud. Hari ini kau pulanglah sendiri,” ujar Devi sambil menarik tali tas Rizka dan memberi isyarat pada Budi untuk pergi.
            “Lho, aku harus pergi. Aku ada janji dengan Budi mau belajar bersama,” Rizka meronta.
            “Belajarnya bisa ditunda. Yang ini lebih penting. Kami hanya butuh sepuluh menitmu. Bud, kau boleh tunggu di tempat parkir...” kata Voni agak membentak.
            “Bud, tunggu aku dimobil. Aku akan kembali,” teriak Rizka. Di hadapannya kini bergerombol sejumlah cewek: Devi, Voni, Karina, Siska, dan Lia. “Jangan macam-macam sama aku.”
            “Tenang, Kawan. Kami hanya ingin menyampaikan sedikit hal. Kamu hanya perlu mendengarkan saja,” suara Devi yang biasanya seperti kapal pecah tiba-tiba jadi lembut. Rizka terhipnotis.
            “Kamu, dengarkan kami. Kamu harus meninggalkan Budi,” tambah Devi.
            “Lho, apa-apaan ini? Salahku apa?”
            “Diam!” bentak Voni. “Tugasmu hanya mendengarkan.”
            Rizka menelan ludah. Tak disangka sahabat-sahabatnya berubah beringas.
            “Kalian harus berpisah,” lanjut Devi “kau tak tahu dengan siapa kau menjalin hubungan. Budi itu,”
            “Iya, tahu, Budi itu anak Kapolres,” potong Rizka.
            Mata Devi melotot membuat tenggorokan Rizka tercekat.
            “Budi itu kekasih Retno. Kau tak boleh memperlakukannya seperti itu. Kau harus tahu diri.”
            Rizka terdiam. Beberapa saat kemudian ia terduduk di lantai.
            “Pantas saja Retno memusuhiku seperti itu. Kenapa aku tak menyadarinya, ya? Kenapa aku jadi begini bodoh, ya?”
            Kerumunan itu pun bubar dengan sendirinya. Tinggal Rizka sendiri. Ia pun bangkit dan dengan langkah lunglai ia berjalan menuju tempat parkir. Dibukanya pintu mobil Honda Civic hitam metalik dan membungkuklah ia.
            “Hari ini kita tidak jadi belajar. Aku pulang dengan sopirku,” katanya pelan.
            Mobil itu pun melaju keluar dari halaman sekolah setelah Rizka menutup pintunya.
***
            Rizka berlari tergopoh-gopoh menuju gerbang sekolah pagi itu. Jam pertama Matematika dan gurunya tidak ramah sama sekali. Jika sampai terlambat, ia bisa jadi perkedel hangus nanti. Apalagi nilai ulangannya selalu di bawah KKM. Jangan sampai ia membuat gara-gara dengan beliau.
            Tiba-tiba tubuhnya terhentak ke samping. Sebuah tangan kekar mendekap mulutnya dan menahan perutnya.
            “Ssssttt...ini aku. Tenang saja. Jangan berteriak. Ayo masuk ke mobil,” suara Budi melemaskan otot-otot tegangnya.
            Rizka pun memasuki Honda Civic hitam dan duduk di jok depan sebelah sopir. Ia langsung memasang sabuk pengaman dan saat Budi telah duduk di belakang kemudi, ia memandangnya dengan pandangan penuh tanya. Budi membalas pandangan itu dengan senyuman manis.
            “Kau ikut saja. Aku akan jelaskan di perjalanan,” terang Budi.
            Budi telah mendengar semua perkataan Devi kepada Rizka. Ia pun mengaku berpacaran dengan Retno, namun telah putus beberapa hari yang lalu, dan alasan mereka berpisah bukan karena kehadiran Rizka, melainkan karena orang tua Budi yang melarangnya berpacaran dengan Retno. Budi tidak ingin Rizka dipersalahkan.
            “Jadi kamu mengajakaku membolos hari ini hanya untuk memberitahuku itu?” Rizka sedikit kesal.
            Budi tersenyum dan menepikan mobil. “Pindah ke belakang dan ganti baju,” perintahnya.
            Rizka membuka pintu mobil dan berpindah ke jok belakang. “Kita ini mau kemana, sih?”
            “Sudah...jangan banyak tanya...”
            Di jok belakang Rizka menemukan blus biru laut, celana jeans, dan jaket kuning. Dilepasnya baju seragam abu-abu putihnya. “Awas kalau melirik,” ancamnya.
            “Kita akan menuju taman Bungkul. Jika kita tetap berseragam, kita akan ditangkap satpol PP.”
            “Owalah... Bilang dari tadi, kek.”
            Budi menginginkan mereka tetap baik seperti sebelumnya. Rizka tidak perlu takut akan segala ancaman teman-teman. Di taman Bungkul itu Budi sebenarnya ingin menyampaikan bahwa ia tidak ingin berpacaran dulu. Namun rencananya berubah setelah ia iseng-iseng menguji Rizka. Dimintanya Rizka memutar dan mengelilingi taman. “Kita akan saling membelakang dan berjalan mengelilingi taman. Jika kau nanti menemukanku di tempat ini, berarti kita berjodoh,” jelasnya. Rizka pun menurut. Ia berjalan mengelilingi taman namun di tempat semula ia tak menemukan Budi.
            Rizka mulai khawatir. Air hangat meleleh di pipinya.
Hati Budi bergetar. Ia tak menyangka kalau Rizka akan begitu sedihnya.
Dengan terisak-isak ia berjalan ke arah tempat parkir. Sebelum langkahnya jauh, sebuah tangan kekar menghela lengan kirinya.
            “Aku di sini. Jangan takut. Jangan menangis lagi,” bisiknya sambil mendekap Rizka.
***
Semenjak itu mereka pun berpacaran. Akibat mereka membolos, mereka dihukum membersihkan kamar mandi selama seminggu. Hukuman itu mereka jalani dengan suka cita. Selesai menunaikan tugas, mereka bertemu di kantin sekolah untuk sekedar minum teh atau limun.
Aroma permusuhan di kelas semakin membahana. Retno mengundurkan diri dari ketua kelas. Nunin mengacau dan memprovokasi teman-temannya untuk memusuhi Rizka. Segala hal yang dilakukannya selalu direspon negatif oleh teman-temannya. Lama kelamaan ia merasa kesepian. Seringkali ia duduk sendiri di sudut ruang kelas, menulis atau menggambar sesuatu di buku catatan. Lalu muncullah ide untuk mengakhiri hubungannya dengan Budi. “Satu semester sudah cukup,” pikirnya.
***