Kamis, 03 April 2014

300: Rise of the Empire (Movie Review)

My husband took me to cinema last Sunday (March 31th, 2014) and we decided to watch 300: Rise of the Empire. It is a fantasy war film about a fight in Salamis bay. Greece was attacked by the Persians. The battle was so hard that it took days to end. The Persian king died in the battle after being shot by Themistokles, Spartan captain.
Xerxes, prince of Persia, was sad and sobbed. He became heatedly angry and wanted to avenge after being provocated by Artemisia, his adopted sister. Xerxes was witched and taken to a cave where he spent ten years of his life there while doing meditation.
Artemisia was then promoted to be the commander. She hated Greece although she was Greek. She hated Greece because her parents were killed by Athenian Civilians. She swore, "I would never be satisfied until I saw Athen fall into pieces." She bore a grudge. She remembered of how she was sold as slave and raped by many men. She was saved by a Persian advisor. The advisor trained her well. He trained her of how to use sword, bow, knife, and many weapons. She learnt well. The king was astonished by her achievement in many battles. He then adopted her as his daughter.
Artemisia got her real rival in a battle. This man was Themistokles. Persia was defeated in the battle. Themistokles used his tactic well. He let the Persian boats entered the circle made by the Athenian boats. They accidentally broke the Persian boats and made them sinking. The next day they used different tactic. The hid behind the fog and started to attack when their boat had broken theirs. Although they won again, the war was not finish. Artemisia called for all of the Persian Navy boats to have a battle in Salamis bay. 
Themistokles asked for a help from the senate. Some of the senators refused to fight against Persia. He then met the Spartan queen to ask for a help. She refused it too. He went to see the Athenians and told them that he needed as many soldiers as they had. Young Athenians joined his troops.
Another battle happened. Artemisia sent small number of boats. The Athenians could defeat it. Then she sent another troop. Many Athenians were hurt. Themistokles and his army were almost defeated when suddenly the Spartans came to help. They fought bravely. Once again they won the battle.
This movie is somewhat historical in the way that it tells us a part of history about the Great Greeks and Persians. It also taught us war tactics and nationalism. Despite of its inethical costumes, there are many good things can be found in this movie. 

JAZILATUR RIZQIYAH (3 March 2014)

Sabtu, 22 Maret 2014

PADA SUATU SEMESTER

          
“Aku mengerti,” ucap Budi lirih, “aku sangat mengerti.” Senyum manis pun mengembang dari bibir tipisnya.
Rizka tersenyum. Air matanya meleleh, entah karena senang, entah karena jawabannya berbeda dengan apa yang diharapkannya. Semakin deraslah air matanya kala Budi memeluknya erat-erat.
Rizka bukan sedang mengalah, tapi ia harus segera mengakhiri kekacauan itu. “Toh perasaan masih bisa dialihkan,” pikirnya. Ia pun resmi berpisah dengan Budi, setelah enam bulan yang penuh kenangan, baik pahit maupun manis. Ia harus mengambil langkah tegas demi menyelamatkan kekompakan kelasnya.
***

“Pagi, Anak-Anak... Bersikaplah manis hari ini. Ada siswa baru, pindahan dari SMAN 1 Krian,” bu Kartini membuka hari itu dengan cowok berambut ikal ke kelas XI-IPA2.
Riuh-rendah suara anak-anak perempuan dari segala penjuru pun memenuhi udara, membuat sang wali kelas memberikan isyarat tenang dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Semua pun tenang. Si siswa baru pun memperkenalkan diri.
            Namanya Budi Prasetyo. Badannya tak seberapa tinggi. Rambutnya ikal dan hitam kelam. Wajahnya oval, dengan tulang pipi menonjol. Di pipi dekat daun telinganya terdapat jambang yang agak lebat, membuatnya nyaris sempurna sebagai lelaki di jamannya. Hidungnya mancung dan tegas. Bibirnya tipis di bagian atas dan tebal di bagian bawah. Dengan wajah serupa itu bisa dikatakan ia relatif tampan. Apalagi kedua matanya yang tajam dan dalam serupa dengan yang dimiliki idola remaja saat itu, Elvis Presley.
            Rizka tiba-tiba mengangkat tangan. Bu Kartini berpaling ke arahnya dan mempersilakannya berkata. “Bu, bolehkah saya duduk dengannya?”
            “Lho, kamu ‘kan duduk dengan Marsini? Apa kamu tega tinggalkan dia?”
            “Marsini udah bosan dengan saya, Bu. Dia capek ngasih contekan...” ujar Rizka beralasan yang mengundang tawa seisi ruangan.
            Bu Kartini meminta persetujuan Marsini setelah meminta kelas untuk tenang. Marsini yang memang sejak awal jengah dengan sikap Rizka pun setuju tanpa mempertimbangkan resiko bahwa dia akan duduk sendiri di belakang.
            Rizka tersenyum puas meskipun sang siswa baru hanya melihatnya dari sudut matanya.
            Hari-hari pun berlalu. Rizka mendapati kenyataan bahwa si siswa baru sangat jago ilmu hitung. Seluruh ilmu yang membuat Rizka tertatih-tatih justru digilas dengan mudah saja oleh Budi. Dengan cepat ia menjadi kesayangan guru-guru sains, tapi ada pula kelemahannya, ilmu menghapal, yang sangat dikuasai Rizka. Tiap ulangan harian mata pelajaran penuh hapalan, Rizka tampil penuh percaya diri. Kewarganegaraan, Sejarah, Biologi, Agama, teori-teori Fisika, teori-teori Kimia, dan TIK semuanya ludes dilahap Rizka tanpa tandingan. Sebaliknya, mata pelajaran yang kaya akan hitungan menjadi andalan Budi. Maka timbulah apa yang dinamakan Simbiosis Mutualisme, kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka tak terkalahkan, kecuali oleh si Marsini, sang jago segalanya dan penghuni ranking 1 abadi.
            Kerjasama itu berlanjut kepada hubungan yang lebih dekat. Mereka seringkali mempertontonkan kemesraan di depan umum, di kantin, di lapangan olahraga, di auditorium, di laboratorium, dan bahkan di kelas ketika pembelajaran sedang berlangsung. Pada kelas Bahasa Indonesia, misalnya, saat bu Dian meminta sukarelawan untuk memerankan dialog berpasangan, Rizka langsung menggaet lengan Budi untuk berperan berdua. Hal yang sama terjadi pada kelas Biologi, yakni saat uji golongan darah, dengan sengaja pula Rizka memilih berpasangan dengan Budi, untuk saling mengambil sampel darah dari jari manis masing-masing.
            “Bud, sekarang kau boleh melukai jari manisku, tapi nanti, suatu saat, aku mau kau pasang cincin kawin di jari ini,” rayu Rizka. Budi hanya tersenyum tipis.
            Ketika tiba giliran Rizka yang harus melukai jari manis Budi, ia berujar, “...dan aku nggak mau melukai hatimu, cukup jarimu ini saja.”
            Kebersamaan mereka membuat iri sebagian siswi. Nunin, Retno, Jajang, dan Tika yang selama ini baik-baik saja kini memusuhi Rizka. Jika ada Rizka, mereka langsung hengkang sambil mengeluarkan hinaan kepada Rizka. Jika mereka kebetulan sekelompok kerja dengannya, maka ia tak akan diajak bekerja sama sekali. Bahkan ketika mereka berpapasan dengannya di kantin, dengan sengaja Nunin menyenggol baki di tangannya. Makanan dan minumannya pun berhamburan. Nunin meminta maaf namun diikuti dengan ejekan di balik punggung Rizka.
            Rizka bukannya tidak merasa, melainkan ia memang mengabaikan itu semua. Keluarganya yang terpandang dan sukses memimpin kabupaten Kutoarjo selama tiga turunan telah membentuk dirinya menjadi jiwa yang kuat. “Kalau sekedar hinaan saja, biasa,” pikirnya.
            Bukan Rizka yang gelisah, ia cewek yang kuat, tapi sahabat-sahabatnya ribut sendiri. Suatu siang sepulang sekolah, ia dihadang di samping kelas.
            “Riz, sebentar... maaf, Bud. Hari ini kau pulanglah sendiri,” ujar Devi sambil menarik tali tas Rizka dan memberi isyarat pada Budi untuk pergi.
            “Lho, aku harus pergi. Aku ada janji dengan Budi mau belajar bersama,” Rizka meronta.
            “Belajarnya bisa ditunda. Yang ini lebih penting. Kami hanya butuh sepuluh menitmu. Bud, kau boleh tunggu di tempat parkir...” kata Voni agak membentak.
            “Bud, tunggu aku dimobil. Aku akan kembali,” teriak Rizka. Di hadapannya kini bergerombol sejumlah cewek: Devi, Voni, Karina, Siska, dan Lia. “Jangan macam-macam sama aku.”
            “Tenang, Kawan. Kami hanya ingin menyampaikan sedikit hal. Kamu hanya perlu mendengarkan saja,” suara Devi yang biasanya seperti kapal pecah tiba-tiba jadi lembut. Rizka terhipnotis.
            “Kamu, dengarkan kami. Kamu harus meninggalkan Budi,” tambah Devi.
            “Lho, apa-apaan ini? Salahku apa?”
            “Diam!” bentak Voni. “Tugasmu hanya mendengarkan.”
            Rizka menelan ludah. Tak disangka sahabat-sahabatnya berubah beringas.
            “Kalian harus berpisah,” lanjut Devi “kau tak tahu dengan siapa kau menjalin hubungan. Budi itu,”
            “Iya, tahu, Budi itu anak Kapolres,” potong Rizka.
            Mata Devi melotot membuat tenggorokan Rizka tercekat.
            “Budi itu kekasih Retno. Kau tak boleh memperlakukannya seperti itu. Kau harus tahu diri.”
            Rizka terdiam. Beberapa saat kemudian ia terduduk di lantai.
            “Pantas saja Retno memusuhiku seperti itu. Kenapa aku tak menyadarinya, ya? Kenapa aku jadi begini bodoh, ya?”
            Kerumunan itu pun bubar dengan sendirinya. Tinggal Rizka sendiri. Ia pun bangkit dan dengan langkah lunglai ia berjalan menuju tempat parkir. Dibukanya pintu mobil Honda Civic hitam metalik dan membungkuklah ia.
            “Hari ini kita tidak jadi belajar. Aku pulang dengan sopirku,” katanya pelan.
            Mobil itu pun melaju keluar dari halaman sekolah setelah Rizka menutup pintunya.
***
            Rizka berlari tergopoh-gopoh menuju gerbang sekolah pagi itu. Jam pertama Matematika dan gurunya tidak ramah sama sekali. Jika sampai terlambat, ia bisa jadi perkedel hangus nanti. Apalagi nilai ulangannya selalu di bawah KKM. Jangan sampai ia membuat gara-gara dengan beliau.
            Tiba-tiba tubuhnya terhentak ke samping. Sebuah tangan kekar mendekap mulutnya dan menahan perutnya.
            “Ssssttt...ini aku. Tenang saja. Jangan berteriak. Ayo masuk ke mobil,” suara Budi melemaskan otot-otot tegangnya.
            Rizka pun memasuki Honda Civic hitam dan duduk di jok depan sebelah sopir. Ia langsung memasang sabuk pengaman dan saat Budi telah duduk di belakang kemudi, ia memandangnya dengan pandangan penuh tanya. Budi membalas pandangan itu dengan senyuman manis.
            “Kau ikut saja. Aku akan jelaskan di perjalanan,” terang Budi.
            Budi telah mendengar semua perkataan Devi kepada Rizka. Ia pun mengaku berpacaran dengan Retno, namun telah putus beberapa hari yang lalu, dan alasan mereka berpisah bukan karena kehadiran Rizka, melainkan karena orang tua Budi yang melarangnya berpacaran dengan Retno. Budi tidak ingin Rizka dipersalahkan.
            “Jadi kamu mengajakaku membolos hari ini hanya untuk memberitahuku itu?” Rizka sedikit kesal.
            Budi tersenyum dan menepikan mobil. “Pindah ke belakang dan ganti baju,” perintahnya.
            Rizka membuka pintu mobil dan berpindah ke jok belakang. “Kita ini mau kemana, sih?”
            “Sudah...jangan banyak tanya...”
            Di jok belakang Rizka menemukan blus biru laut, celana jeans, dan jaket kuning. Dilepasnya baju seragam abu-abu putihnya. “Awas kalau melirik,” ancamnya.
            “Kita akan menuju taman Bungkul. Jika kita tetap berseragam, kita akan ditangkap satpol PP.”
            “Owalah... Bilang dari tadi, kek.”
            Budi menginginkan mereka tetap baik seperti sebelumnya. Rizka tidak perlu takut akan segala ancaman teman-teman. Di taman Bungkul itu Budi sebenarnya ingin menyampaikan bahwa ia tidak ingin berpacaran dulu. Namun rencananya berubah setelah ia iseng-iseng menguji Rizka. Dimintanya Rizka memutar dan mengelilingi taman. “Kita akan saling membelakang dan berjalan mengelilingi taman. Jika kau nanti menemukanku di tempat ini, berarti kita berjodoh,” jelasnya. Rizka pun menurut. Ia berjalan mengelilingi taman namun di tempat semula ia tak menemukan Budi.
            Rizka mulai khawatir. Air hangat meleleh di pipinya.
Hati Budi bergetar. Ia tak menyangka kalau Rizka akan begitu sedihnya.
Dengan terisak-isak ia berjalan ke arah tempat parkir. Sebelum langkahnya jauh, sebuah tangan kekar menghela lengan kirinya.
            “Aku di sini. Jangan takut. Jangan menangis lagi,” bisiknya sambil mendekap Rizka.
***
Semenjak itu mereka pun berpacaran. Akibat mereka membolos, mereka dihukum membersihkan kamar mandi selama seminggu. Hukuman itu mereka jalani dengan suka cita. Selesai menunaikan tugas, mereka bertemu di kantin sekolah untuk sekedar minum teh atau limun.
Aroma permusuhan di kelas semakin membahana. Retno mengundurkan diri dari ketua kelas. Nunin mengacau dan memprovokasi teman-temannya untuk memusuhi Rizka. Segala hal yang dilakukannya selalu direspon negatif oleh teman-temannya. Lama kelamaan ia merasa kesepian. Seringkali ia duduk sendiri di sudut ruang kelas, menulis atau menggambar sesuatu di buku catatan. Lalu muncullah ide untuk mengakhiri hubungannya dengan Budi. “Satu semester sudah cukup,” pikirnya.
***

Kamis, 30 Januari 2014

Menghitung Mundur

Aku sedang menghitung mundur meski kau tak suka. Sejak awal kau tak pernah suka dengan apa yang aku lakukan. Aku tidak tertarik dengan apa pendapatmu. Aku akan tetap menghitung mundur hingga kau benar-benar lalu di hadapanku. Masa bodoh dengan segala ocehanmu. Aku akan tetap menghitung mundur hingga saat itu tiba. Aku tidak pernah keberatan dengan hujan dan badai yang menghalangiku. Aku akan tetap menghitung mundur hingga hari itu tiba, hari ketika kau dengan langkah mantap dan kepala tertegak angkuh berjalan menuju ke gerbang dan aku seperti biasa menatapmu dari jauh sambil menghela napas dan lunglai.

Siapa aku hingga kamu repot-repot mengurusi dan mengomentari segala hal tentang aku?

Kita tidak pernah memiliki apa-apa selain segenggam kenangan yang telah pula kau remukkan dengan semena-mena tanpa ijin dariku tanpa aku sempat menyaksikannya. Bagaimana kau berharap aku dapat tersenyum manis di hadapanmu jika kau sendiri selalu membunuh jiwaku dengan badik beracun di jemarimu.

73...
72...
71...
70...
69...
68...
67...
...

Both of Us Know

Both of us know
who's spreading all the troubles
over the town
over the hills
down the ocean

but none of us know how to stop it
or perhaps we're enjoying the troubles together


Jangan Pikirkan (Song Lyric)


Kamu terjatuh dan tak bangun-bangun
tiada yang ulurkan tangan
tiada yang pedulikan



Jangan pikirkan mereka yang tak pikirkanmu
Jangan-Jangan pikirkan mereka
Mereka yang belum tentu pikirkanmu

Kamu bersedih dan menyesal
di dunia ini kadang kita sendirian
terlahir tanpa teman
masuk liang lahat kedinginan

Jangan pikirkan mereka yang tak pikirkanmu
Jangan-Jangan pikirkan mereka
Mereka belum tentu pikirkanmu

Lalu apa yang kamu harapkan?
Mereka belum tentu sedang pikirkanmu
Mari bangkit sendiri dan lupakan semua

Jangan pikirkan mereka yang tak pikirkanmu
Jangan-Jangan pikirkan mereka
Mereka yang belum tentu pikirkanmu


written by: Jazilatur Rizqiyah
inspired by Mutia Sifana's advice